Sabtu, 12 November 2016

Quote About Space

“Look again at that dot. That's here. That's home. That's us. On it everyone you love, everyone you know, everyone you ever heard of, every human being who ever was, lived out their lives. The aggregate of our joy and suffering, thousands of confident religions, ideologies, and economic doctrines, every hunter and forager, every hero and coward, every creator and destroyer of civilization, every king and peasant, every young couple in love, every mother and father, hopeful child, inventor and explorer, every teacher of morals, every corrupt politician, every "superstar," every "supreme leader," every saint and sinner in the history of our species lived there-on a mote of dust suspended in a sunbeam.

The Earth is a very small stage in a vast cosmic arena. Think of the endless cruelties visited by the inhabitants of one corner of this pixel on the scarcely distinguishable inhabitants of some other corner, how frequent their misunderstandings, how eager they are to kill one another, how fervent their hatreds. Think of the rivers of blood spilled by all those generals and emperors so that, in glory and triumph, they could become the momentary masters of a fraction of a dot.

Our posturings, our imagined self-importance, the delusion that we have some privileged position in the Universe, are challenged by this point of pale light. Our planet is a lonely speck in the great enveloping cosmic dark. In our obscurity, in all this vastness, there is no hint that help will come from elsewhere to save us from ourselves.

The Earth is the only world known so far to harbor life. There is nowhere else, at least in the near future, to which our species could migrate. Visit, yes. Settle, not yet. Like it or not, for the moment the Earth is where we make our stand.

It has been said that astronomy is a humbling and character-building experience. There is perhaps no better demonstration of the folly of human conceits than this distant image of our tiny world. To me, it underscores our responsibility to deal more kindly with one another, and to preserve and cherish the pale blue dot, the only home we've ever known.”

― Carl Sagan, Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space

Rabu, 09 November 2016

Hubungan Teknologi Dengan Kemiskinan

TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN


1) pengertian Teknologi

Para sarjana telah banyak memberikan pengertian
tentang teknologi, di mana masing-masing berbeda dalam sudut pandangannya.
Menurut Walter Buckingham yang di maksud dengan teknologi adalah ilmu
pengetahuan yang diterapkan ke dalam seni industri serta oleh karenanya
mencakup alat-alat yang memungkinkan terlaksananya efisiensi tenaga kerja
menurut keragaman kemampuan.

Dari pengertian teknologi di atas dapat kecenderungan
bahwa teknologi dianggap sebagai penerapan ilmu pengetahuan, dalam pengertian
bahwa perapan itu menuju keperbuatan atau perwujudan sesuatu. Kecenderungan ini
pun mempunyai suatu akibat di mana kalau teknologi dianggap sebagai penerapan
ilmu pengetahuan, dalam perwujud maka dengan sendirinya setiap jenis teknologi
atau bagian ilmu pengetahuan dapat diteknologikan. Dengan demikian teknologi
tidak dapat ada tanpa berpasangan dengan ilmu pengetahuan, dan pengetahuan
tentang teknologi perlu disertai oleh pengetahuan akan ilmu pengetahuan yang
menjadi pasangannya.

Macam-macam Teknologi

Ada tiga macam teknologi yang sering dikemukakan para
ahli, yaitu :

a.      Teknologi modern

Jenis teknologi modrn ini mempunyai cirri-ciri sebagai
berikut  :

-         Padat modal

-         Mekanis elektris

-        Menggunakan bahan import

-        Berdasarkan penelitian mutakhir dan lain-lain

b.    Teknologi madya

Jenis teknologi madya ini mempunyai cirri-ciri sebagai
berikut :

-        Padat karya

-        Dapat dikerjakan oleh ketrampilan setempat

-        Menggunakan alat setempat

-        Berdasarkan suatu penelitian

c.     Teknologi tradisional

-        Teknologi ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :

-        Bersifat padat karya (banyak menyerap tenaga kerja )

-        Menggunakan keterampilan setempat

-        Menggunakan alat setempat

-        Menggunakan bahan setempat

-        Berdasarkan kebiasaan atau pengamatan.

2) pengertian kemiskinan

Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk
problem yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di
Negara-negara yang sedang berkembang. Masalah kemiskinan ini menuntut adanya
suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh
dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai
upaya untuk mempercapat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan.

Istilah kemiskinan sebenarnya bukan merupakan suatu
hal yang asing dalam kehidupan kita. Kemiskinan yang dimaksud di sini adalah
kemiskinan ditinjau dari segi material (ekonomi).

Menurut Prof. dr. emil Salim yang dimaksud dengan
kemiskinan adalah merupakan suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.

Atau dengan istilah lain kemiskinan itu merupakan
ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mengalami keresahan,
kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langkah hidupnya.

Factor-faktor timbulnya kemiskinan

Ada beberapa factor yang menyebabkan timbulnya
kemiskinan yaitu :

a.     Pendidikan yang terlampau rendah

Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah
menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan
dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan/keterampilan yang dimiliki
menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk masuk dalam dunia kerja. Atas dasar
kenyataan di atas dia miskin karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya.

b.    Malas bekerja

Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup
memprihatinkan, karena masalah ini menyangkut mentalitas dan kepribadian
seseorang. Adanya sikap malas ini seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak
bergairah untuk bekerja. Atau bersikap pasif dalam hidupnya (sikap bersandar
pada nasib). Sikap malas ini cenderung untuk menggantungkan hidupnya pada orang
lain, baik dari keluarga, saudara atau family yang dipandang mempunyai
kemampuan untuk menanggung kebutuhan hidup mereka.

c.     Keterbatasan sumber alam

Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila
sumber alam nya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering
dikatakan oleh para ahli, bahwa masyarakat itu miskin karena memang dasarnya
“alamiah miskin”.

Alamiah miskin yang dimaksud di sini adalah kekayaan
alamnya, misalnya tanahnya berbatu-batu, tidak menyimpan kekayaan mineral…dan
sebagainya. Dengan demikian layaklah kalau miskin sumber daya alam miskin juga
masyarakatnya.

d.    Terbatasnya lapangan kerja

Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi
kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal banyak orang mengatakan bahwa
seseorang/masyarakat harus mampu menciptakan lapangan kerja baru. Tetapi secara
factual hal tersebut kecil kemungkinannya, karena adanya keterbatasan kemampuan
seseorang baik yang berupa “skill” maupun modal.

e.     Keterbatasan modal

Keterbatasan
modal adalah sebuah kenyataan yang ada di Negara-negara yang sedang berkembang,
kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagian besar masyarakat di Negara
tersebut. Seorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi
alat ataupun  bahan dalam rangka
menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh
penghasilan. Keterbatasan  modal bagi
Negara-negara yang sedang berkembang dapat diibaratkan sebagai suatu lingkaran
yang tak berujung pangkal baik dari segi permintaan akan modal maupun dari segi
penawaran akan modal.

f.     Beban keluarga

Semakin banyak anggota keluarga akan semakin
banyak/meningkat pula tuntunan/beban untuk hidup yang harus dipenuhi. Seseorang
yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha
peningkatan pendapatan sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka
memang berangkat dari kemiskinan. Kenaikan pendapatan yang dibarengi dengan
pertambahan jumlah keluarga, berakibat kemiskinan akan tetap melanda dirinya
dan bersifat laten.

Dalam kenyataannya, sistem perekonomian, sistem tata
nilai dan sikap manusia dalam mengelola kekayaan alam yang dikuasai sangat
berlainan. Di satu pihak orang ingin selalu (terus menerus) meningkatkan
kekayaan dan taraf hidupnya setinggi mungkin. Di pihak lain ada penduduk dunia
yang cukup santai dalam menggunakan kekayaan sumber-sumber daya tanpa memperdulikan
upaya-upaya pelestariannya.

Peperangan, konflik politik dan adanya pengungsian
penduduk yang masih dan terus berlangsung di dunia hingga saat ini menunjukan
adanya sikap tamak manusia dan sukarnya dicapai kesamaan pandangan dalam hal
memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Kalau secara teori dan teknis, dengan ilmu
dan teknologinya orang telah dapat meningkatkan daya dukung sumber-sumber dari
kehidupan umat manusia yang lebih baik, dalam kenyataan nya Negara-negara maju
yang kaya dengan penduduk yang lebih sedikit telah menguasai sebagian terbesar
sumber-sumber daya yang ada di bumi, baik lewat pengaruh kekuasaan politik
maupun lewat sistem ekonomi liberal yang menjadikan Negara-negara berkembang makin
bergantung dan makin tertinggal dalam perkembangan perekonomian dan taraf
hidupnya.

Kesenjangan yang ada antara Negara-negara industry
maju dengan Negara berkembang makin melebar. Maka muncullah akhir-akhir ini
upaya-upaya menyelaraskan perkembangan dengan dialog utara selatan, dan seruan
yang cukup vocal untuk mewujudkan tata perekonomian dunia baru.

Lepas dari upaya banyak bangsa untuk mewujudkan tata
kehidupan yang lebih berimbang, factor jumlah dan pengendalian penduduk serta
peningkatan pengetahuan merupakan hal-hal yang sangat esensial, agar kehidupan
penduduk Negara-negara berkembang dapat cepat meningkat secara layak.

Dalam sejarah perkembangan perekonomian dunia kemajuan
telah dicapai lewat perjuangan dan kerja keras. Pada saat ini banyak orang
berpendapat bahwa alih teknologi tidaklah begitu saja dapat diperoleh dan juga
tidak selalu menjadikan obat mujarab bagi upaya peningkatan perekonomian
Negara-negara berkembang.

Dengan munculnya korporasi-korporasi multi nasional,
teknologi sekarang merupakan juga komoditi atau barang dagangan, yang cenderung
terkena juga praktek monopoli. Kalau teknik dapat diartikan antara lain sebagai
lapangan pengetahuan yang memusatkan perhatiannya pada cara membuat atau
membentuk benda-benda materil, yaitu dengan menciptakan atau mewujudkan
benda-benda nyata berdasarkan usaha manusia, maka teknologi dapat diartikan
sebagai ilmuyang menyelidiki cara-cara kerja dalam teknik. Memang, teknologi sekarang
dapat dibeli. Tetapi dengan teknologi maju yang diimpor suatu masyarakat yang
sedang membangun belum tentu memperoleh manfaat yang sepadan; kalaupun tidak
lalu menjadi demikian tergantung pada penyedia/pemberi teknologi maju. Karena
itu banyak Negara berkembang yang ilmu dan teknologinya belum begitu maju ada
kalanya lebih memilih pengembangan teknologi madya terlebih dahulu, yaitu
teknologi yang tidak memerlukan dasar pengetahuan yang demikian canggihnya dan
umumnya dalam penggunaannya masih menyerap cukup banyak tenaga kerja. Di
samping mencoba membuat terobosan-terobosan melalui pengembangan teknologi maju
untuk mengajar ketertinggalannya, Indonesia juga menggalakkan pengembangan dan
penerapan teknologi tepat guna, yaitu bentuk teknologi yang lebih banyak
mendayagunakan bahan-bahan setempat dan bersifat member manfaat lansung kepada
sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan kurang. Dengan menerapkan
teknologi maju yang hanya memerlukan sedikit tenaga (yang ahli) dampak negative
yang mungkin timbul adalah : (1) diberhentikan sebagian tenaga kerja, yang
berarti menambah jumlah pengangguran, (2) karena efisiensi kerja pemakayan
teknologi maju yang tinggi, usaha-usaha industry kecil yang masih memakai
teknologi yang lebih bersahaya tak mampu bersaing dan terancam bangkrut, (3)
bila teknologi maju diperoleh lewat membeli, tanpa disertai usaha menyiapkan
pengetahuan yang diperlukan untuk melayani dan mengembangkannya, akan cenderung
terjadi ketergantungan yang berkelanjutan kepada pihak pemberi/penyedia
teknologi maju tersebut.

Dalam kenyataan nya sekarang, banyak Negara berkembang
 menjadi demikian bergantung kepada
Negara-negara industry maju oleh sebab keinginan kuat segera menerapkan
teknologi maju seperti yang banyak terdapat di negeri industri, dan dengan
begitu saja menerapkan teori pengembangan sebagaimana yang telah berlaku atau
dipakai oleh Negara Eropa dan Amerika. Ketergantungan tidak saja terbatas pada
bidang ilmu dan teknologi (lewat bantuan saran-saran para konsultan dan program
pendidikan dan latihan yang dihadiahkan oleh Negara-negara industri maju),
tetapi juga dibidang perekonomian dan keuangan Negara yang bersangkutan. Ini
ternyata dari banyaknya Negara berkembang yang mengalami kesulitan dalam
pengembalian pinjaman (hutang) dari Negara industri sementara terus menemui
kesulitan dalam pembiayaan pembangunannya, yang berakibat adanya upaya untuk
menangguhkan atauu penjadwalan kembali pembayaran hutang Negara-negara
berkembang yang angka debt-serviceratio-nya (DRS =angka rasio nilai ekspor dan
jumlah hutang luar negeri yang harus di bayar setahun) sudah demikian tinggi.

Upaya peningkatan taraf kehidupan tida lepas dari
masalah kependudukan. Masalah penduduk menyangkut persoalan jumlah dan
persoalan mutu. Keberhasilan peningkatan taraf hudup tidaklah bergantung
semata-mata pada kemampuan fisik yang lebih baik. Kualitas non fisik penduduk
yang serupa sikap hemat, disiplin, kerja keras, semangat mengembangkan diri dan
sebagainya merupakan factor-faktor yang tidak kalah pentingnya bagi usaha meningkatkan
taraf hidup. Jepang mmerupakan satu contoh bangsa yang telah demikian berhasil
dengan cepat meningkatkan taraf hidup dan perekonomiannya (baik sejak masa
restorasi maupun dalam kebangkitannya kembali dari kehancuran oleh kalah
perang) dengan modal kualitas non fisik penduduknya.

Secara umum peningkatanperekonomian akan bergantung
pada tersedianya modal dan juga tingginya produktivitasusaha. Modal akan
terbentuk lewat investasi dari hasil tabungan. Orang akan lebih bisa menabung
kalau hidupnya hemat. Sedang produktivitas usaha akan berkaitan dengan
pengetahuan, efisiensi kerja dan factor-faktor lain yang berkaitan dengan
kualitas non fhisik penduduk.

d.    Teknologi dan kemiskinan

Salah satu penyebab kesengsaraan atau penderitaan
manusia adalah kemiskinan. Kemiskinan biasanya sejalan dengan kelaparan dan
wabah penyakit, yang sering kali terjadi di Negara-negara yang sedang
berkembang. Lapisan masyarakat banyak yang hidup dalam kemiskinan berusaha
mati-matian untuk dapat mencapai kehidupan yang menyenangkan. Tetapi kebanyakan
tetap tinggal terhambat pada garis kemiskinan dan bahkan di bawah kemiskinan.

Perlu diketahui salah satu unsure terpenting dalam
pertumbuhan ekonomi adalah kemajuan teknologi.

Kemajuan teknologi mengakibatkan dalam struktur
produksi maupun dalam komposisi tenaga kerja yang diperlukan dalam proses
produksi mengalami perubahan. Bagi tenaga kerja yang mempunyai ketrampilan
teknis yang tinggi, akan terbuka lebih banyak kesempatn-kesempatan kerja yang
baik. Tetapi tenaga kerja yang tida berketrampilan atau yang hanya mempunyai
ketrampilan rendah akan tergeser akan kadang-kadang kehilangan sama sekali
pekerjaan mereka.

Selama dua dasawarsa (1960 – 1980) yang baru lalu
beberapa Negara berkembang dari hasil pembangunan telah mengalami pertumbuhan
ekonomi yang pesat malahan lebih  pesat
dari yang pernah dialami oleh Negara-negara industry barat selama tahap-tahap
permulaan dari proses industrialisasi mereka, namun pertumbuhan ekonomi yang
pesat tersebut pada umumnya ternyata tidak terlalu berhasil dalam penyediaan
kesempatan kerja yang produktif bagi penduduk.

Bahkan di Negara-negara yang telah mengalami penurunan
dalam prosentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan penurunan relatip
sering di tiadakan oleh pertambahan penduduk yang pesat, sehingga hamper tidak
mengurangi jumlah absolute penduduk yang miskin. Salahsatu kasus yang dapat
disebut dalam hubungan tersebut adalah pulau jawa, yang selama masa 1967-1976
telah mengalami penurunan yang cukup besar dalam persentase penduduk yang hidup
dalam kemiskinan, namun gagal dalam mengurangi secara berarti jumlah absolute
penduduk yang miskin, karena pertumbuhan penduduk yang pesat.

Di samping tidak tercapainya pengurangan secara
berarti dari kemiskinan, penganguran serta setengah penganguran, maka
pertumbuhan ekonomi yang pesat di banyak Negara berkembang juga disertai oleh
ketimpangan yang semakin meningkat dalam pembagian pendapatan (ketimpangan
relatif) hal tersebut memang tidak mengherankan bagi ahli lain ekonomi.
Misalnya Kuznets mengemukakan bahwa dalam masa pertumbuhan ekonomi selalu ada
ketimpangan redistribusi pendapatan, dimana dalam pertumbuhan ekonomi yang
cepat, golongan berpenghasilan rendah selalu ketinggalan kemajuan, tidak mampu
mengikuti berpartisipasi. Karenanya mereka tidak mampu memanpaatkan proses
redistribusi pendapatannya.

Di Indonesia pola perkembangan pembangunan juga mengikuti
pendapatan yang dikemukakan Kuznets, artinya golongan miskin kurang terjamah
oleh hasil-hasil pertumbuhan ekonomi. Mengapa mereka tidak terangkat, padahal
pemerintah telah mengambil kebijaksanaan penyebaran proyek-proyek ke
daerah-daerah, desa-desa, misalnya adanya kredit bimas, KIK, KMKP, KCK, padat
karya dan sebagainya.

Bila diteliti golongan-golongan miskin yang tidak
terjamah oleh hasil-hasil pembangunan, karena :

a)    Ketimpangan dalam peningkatan pendidikan.

Selama belum ada kewajiban belajar golongan miskin
tida akan mampu berpartisipasi mengenyam peningkatan anggaran pendidikan.

b)    Ketidakmerataan kemampuan untuk berpartisipasi. Untuk berpartisipasi diperlukan tingkat
pendidikan, ketrampilan, relasi, dan sebagainya. Golongan miskin tidak
memilikinya.

c)    Ketidakmerataan pemilikan alat-alat produksi. Golongan miskin tidak memiliki alat-alat
produksi, penghasilannya untuk makan saja sudah susah, sehingga tidak mungkin membentuk
modal.

d)   Ketidakmerataan kesempatan terhadap modal dan kredit yang ada. Modal dan kredit pemberiannya
menghendaki syarat-syarat tertentu dan golongan miskin tidak mungkin memenuhi
persyaratanya.

e)    Ketidamerataan menduduki jabatan-jabatan. Untuk mendapat pekerjaan yang dapat memberi makan
pada keluarga saja sudah susah, apalagi menduduki jabatan-jabatan yang sering
memerlukan relasi tertentu dan persyaratan tertentu.

f)     Ketidamerataan mempengaruhi pasaran. Karena miskin dan pendidikannya rendah, maka tidak
mungkin golongan niskin dapat mempengaruhi pasaran.

g)    Ketidamerataan kemampuan menghindari musibah misalnya penyakit, kecelakaan, dan
ketidaberuntungan lainnya. Bagi golongan miskin dibutuhkan bantuan untuk dapat
mengatasi musibah tersebut. Mengharapkan dari mereka sendiri untuk dapat
mengangkat dirinya tanpa pertolongan, sukar dipastikan.

h)    Laju pertambahan penduduk lebih memberatkan golongan miskin. Dengan jumlah keluarga
besar, mereka sulit dapat menyekolahkan, member makan, dan pakayan secukupnya.
Hanya keluarga yang kaya atau berpenghasilan besar sajalah yang mampu.

Dapatlah dipastikan bahwa golongan berpenghasilan
rendah, karena kurang terjamah pendidikan, tidak memiliki sarana-sarana
misalnya kredit, modal, alat-alat produksi, relasi dan sebagainya, tidak akan
mampu berpartisifasi dalam pertumbuhan ekonomi dan menikmati pembagian
hasil-hasilnya tanpa adanya kebijaksanaan khusus yang ditujukan untuk
mengangkat mereka.

Penelitian yang diadakan di daerah perkotaan di jawa,
sundrum telah menemukan bahwa selama tahun 1970 sampai tahun 1976 ternyata
pembagian pendapatan memburuk, terutama di ibukota Jakarta. Dari hasil survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukan bahwa selama kurun waktu 1970
sampai 1976 persentase penduduk Indonesia yang miskin yaitu hidup di bawah
tingkat kemiskinan telah berkurang. Hal tersebut berlaku baik bagi Indonesia
sebagai keseluruhan, maupun jika diadakan perincian menurut daerah pedesaan dan
daerah perkotaan, baik di jawa maupun di luar jawa. Tingkat hidup absolute
semua golongan masyarakat telah meningkat, sehingga kemiskinan absolute di
Indonesia selama Repelita 1 dan tahun-tahun pertama Repelita 11 telah
berkurang. Perhitungan berbagai peneliti dapat disimpulkan bahwa persentase
penduduk Indonesia yang miskin telah menurun dari hamper 60% dalam tahun 1970
sampai kurang lebih 45% dalam tahun 1976.

Di lain pihak hasil-hasil SUSENAS telah
memperlihatkan, bahwa pembagian pendapatan selama kurun waktu yang sama telah
memburuk. Hal tersebut disebabkan karena laju kenaikan pendapatan golongan yang
berpendapatan tinggi telah meningkat jauh lebih pesat daripada penaikan
golongan yang berpendapatan rendah.

Di samping perkembangan tersebut, maka pembagian
pendapatan antara penduduk daerah perkotaan dan daerah pedesaan juga telah
memburuk. Hal tersebut disebabkan karena laju kenaikan pendapatan penduduk
perkotaan selama kurun waktu 1970 sampai 1976 rata-rata bertambah dua setengah
kali lebih cepat dari pada penduduk pedesaan.

Juka dirinci menurut daerah maka ketimpangan antara
pendapatan penduduk perkotaan dan pedesaan di jawa lebih besar daripada di luar
jawa.

Usaha mengatasi kemiskinan

Dari kegagalan kebijaksanaan konversional mengenai
pertumbuhan ekonomi di banyak Negara berkembang dalam mengurangi kemiskinan,
pengangguran dan disparitas ( ketimpangan) pendapatan secara berarti telah
memaksa baik para perencana ekonomi dan teknokrat maupun para peneliti ekonomi
untuk kembali mempelajari secara sungguh-sungguh kebijaksanaan tersebut, serta
mendorong mereka untuk mempelajari alternative-alternatif yang realities bagi
kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi yan konvensional. Dalam hal ini; pendekatan
kebutuhan dasar dalam perencanaan pembangunan merupakan hasil yang logis dari
sesuatu proses reorientasi yang panjang dalam pemikiran tentang pembangunan.

Dari hasil-hasil penelitian kemudian pusat perhatian
para ahli lambat laun mulai bergeser dari tekanan pada penciptaan lapangan
kerja yang memadai ke penghapusan kemiskinan, dan akhirnya ke penyediaan
barang-barang dan jasa-jasa kebutuhandasar bagi seluruh penduduk, yang berupa
dua perangkat, yaitu :

a)    Perangkat kebutuhan konsumsi perorangan akan pangan, sandang dan pemukiman.

b)    Perangkat yang mencakup penyediaan jasa umum dasar, seperti fasilitas kesehatan,
pendidikan, saluran air minum, pengangkutan, dan kebudayaan.

Di samping kedua perangkat tersebut, kebutuhan dasar
atau kebutuhan dasar manusiawi kadang-kadang juga digunakan untuk mencakup tiga
sasaran lain, yaitu:

1)    Hak atas pekerjaan produktif dan yang memberikan imbalan yang layak, sehingga cukup
untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap rumah tangga atau perorangan.

2)    Prasarana yang mampu menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk.

3)    Partisipasi seluruh penduduk, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan
proyek-proyek yang berhubungan dengan penyediaan barang-barang dan jasa-jasa
kebutuhan dasar.

Pengalaman dari Negara-negara Asia Timur,yaitu korea,
Taiwan, jepang menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan disertai
pemerataan hasil-hasil pembangunan dapat tercapai karena di Negara-negara
tersebut program pembangunan pedesaan (rural development program) sangat
diutamakan.


Sumber :
http://www.wasiclub.id/2016/04/teknologi-dan-kemiskinan.html

Agama & Masyarakat


Agama di Indonesia


Indonesia adalah negara demokratis yang sekular mayoritas pemeluk agama Islam. Konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama kepada semua orang, masing-masing menurut agama atau keyakinan sendiri. Konstitusi ini juga menetapkan bahwa negara Indonesia harus didasarkan pada keyakinan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (kondisi tersebut juga merupakan prinsip pertama Pancasila, yaitu filosofi negara Indonesia yang dibeberkan presiden Soekarno pada tahun 1945).
Sumber :
http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/item69

Masyarakat Desa & Kota

Perbedaan Perilaku Masyarakat Desa dan Kota Dalam Menyikapi Perubahan Sosial Budaya Di Era Global

Berikut ini merupakan pembahasan tentang Perbedaan Perilaku Masyarakat Desa dan Kota Dalam Menyikapi Perubahan Sosial Budaya Di Era Global

1. Perilaku Masyarakat Desa Dalam Menyikapi Perubahan Sosial Budaya

Masyarakat desa adalah masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah yang jauh dari keramaian, bersifat homogen dan sebagian besar bekerja di sektor agraris. Masyarakat desa tergolong dalam masyarakat statis dan tradisional.

Masyarakat statis adalah masyarakat yang lambat dalam berkembang. Adapun masyarakat tradisional yaitu masyarakat yang memegang teguh adat-istiadat dan kepercayaan yang turun-temurun.

Masyarakat desa enggan menerima masuknya unsur-unsur budaya asing sehingga sulit untuk menerima perubahan-perubahan.

Di Indonesia masyarakat yang demikian masih cukup banyak jumlahnya di desa-desa, khususnya suku terasing di pedalaman Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua.

2. Perilaku Masyarakat Kota Dalam Menyikapi Perubahan Sosial Budaya 

Kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan pelapisan sosial ekonomi yang heterogen serta masyarakatnya yang individualistis dan materialistis. Masyarakat kota adalah masyarakat yang bertempat tinggal di perkotaan.

Masyarakat kota tergolong masyarakat modern, sehingga lebih mudah menerima perubahan sosial budaya. Masyarakat kota lebih mengenal hukum negara daripada hukum adat atau tradisi.

Pelaksanaan hukum adat di kota hampir tidak berlaku, apabila ada yang melaksanakan itupun pada lingkungan terbatas.

Pelaksanaan hukum adat di kota semakin berkurang karena masyarakat kota mempunyai cara berpikir yang ilmiah dan rasional. Keanekaragaman tradisi adat-istiadat warganya juga bisa menjadi alasan tersebut.

Perbedaan Perilaku Masyarakat Desa dan Kota dalam Menyikapi Perubahan Sosial

Kondisi desa dan kota yang berbeda sangat berpengaruh pada perubahan sosial budaya masyarakatnya.

Masyarakat kota yang memiliki tingkat budaya yang tinggi, daya kreativitas yang baik dan dinamika kehidupan yang kompleks akan lebih mudah mengalami perubahan dan pembaruan.

Sebaliknya masyarakat desa yang homogen menyebabkan dinamika kehidupan lebih lamban sehingga perubahan sosial budaya pun berjalan sangat lambat.

Lalu bagaimana masyarakat desa dan masyarakat kota menyikapi perubahan? Dalam menyikapi perubahan sosial budaya, ada perbedaan antara masyarakat desa dengan masyarakat kota.

Pada masyarakat desa dalam menghadapi perubahan pada umumnya bersikap tertutup, was-was (apatis) dan acuh tak acuh.

Sikap was-was, curiga dan menutup diri dari segala pengaruh perubahan sosial budaya umumnya dilakukan oleh masyarakat desa yang telah merasa nyaman dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada.

Adapun sikap acuh tak acuh umumnya ditunjukkan oleh masyarakat desa yang kurang memahami manfaat dan arti strategis perubahan sosial budaya bagi kehidupannya, sehingga perubahan terjadi sangat lambat.

Sebaliknya pada masyarakat kota dalam menghadapi perubahan sosial budaya lebih bersikap terbuka (open minded), antisipatif dan selektif.

Sikap terbuka merupakan langkah pertama dalam upaya menerima pengaruh perubahan sosial budaya, karena sikap terbuka tersebut akan membuat masyarakat kota lebih dinamis, tidak terbelenggu pada hal-hal yang bersifat tradisi dan kolot sehingga masyarakat kota lebih mudah menerima perubahan.

Selain itu sikap antisipatif dan selektif ditunjukkan masyarakat kota dalam menilai hal-hal yang akan atau sedang terjadi kaitannya dengan pengaruh perubahan sosial budaya tersebut bagi kehidupannya. Sikap-sikap tersebut yang memengaruhi perubahan sosial budaya di masyarakat kota berjalan cepat.

Sumber:
http://www.gurupendidikan.net/2016/01/Perbedaan-Perilaku-masyarakat-Desa-dan-Kota-Dalam-Menyikapi-Perubahan-Sosial-Budaya-Di-Era-Global.html

Sosialisasi Generasi Muda


Sosialisasi Permasalahan Generasi Muda

Berbagai permasalahan generasi yang muncul pada saat ini antara lain :
  • Menurunnya jiwa idealisme, patriotisme, dan nasionalisme dikalangan masyarakat, termasuk jiwa pemuda.
  • Kekurangpastian yang dialami oleh generasi muda terhadap masa depannya.
  • Belum seimbangnya antara jumlah generasi muda dengan fasilitas pendidikan yang tersedia, baik formal dan informal. Tinggimya jumlah putus sekolah yang tidak hanya merugikan generasi muda sendiri, tetapi juga merugikan bangsa.
  • Kekurangan lapangan dan kesempatan kerja serta tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran dikalangan generasi muda mengakibatkan berkurangnya produktivitas nasional dan memperlambat kecepatan laju perkembangan pembangunan nasional serta dapat menimbulkan berbagai problem sosial lainnya.
  • Kurangnya gizi yang menghambat perkembangan kecerdasan, dan pertumbuhan.
  • Masih banyaknya perkawinan dibawah umur.
  • Pergaulan bebas yang membahayakan sendi-sendi moral bangsa.
  • Merebaknya penggunaan NAPZA dikalangan remaja.
  • Belum adanya peraturanm perundangan yang menyangkut generasi muda.
2. Potensi-potensi Generasi Muda

Potensi-potensi yang terdapat pada generasi muda yang perlu dikembangkan adalah sebagai berikut :

a. Idealisme dan Daya Kritis

Secara sosiologis generasi muda belum mapan dalam tatanan yang ada, sehingga ia dapat melihat kekurangan dalam tatanan dan secara wajar mampu mencari gagasan baru. Pengejawantahan idealisme dan daya kritis perlu dilengkapi landasan rasa tanggung jawab yang seimbang.

b. Dinamika dan Kreativitas

Adanya idealisme pada generasi muda, menyebabkan mereka memiliki potensi kedinamisan dan kreativitas, yakni kemampaun dan kesediaan untuk mengadakan perubahan, pembaharuan, dan penyempurnaan kekurangan yang ada ataupun mengemukakan gagasan yang baru.

c. Keberanian Mengambil Resiko

Perubahan dan pembaharuan termasuk pembangunan, mengandung resiko dapat meleset, terhambat atau gagal. Namun, mengambil resiko itu diperlukan jika ingin memperoleh kemajuan. Generasi muda dapat dilibatkan pada usaha-usaha yang mengandung resiko. Untuk itu diperlukan kesiapan pengetahuan, perhitungan, dan keterampilan dari generasi muda sehingga mampu memberi kualitas yang baik untuk berani mengambil resiko.

d. Optimis dan Kegairahan Semangat

Kegagalan tidak menyebabkan generasi muda patah semangat. Optimisme dan kegairahan semangat yang dimiliki generasi muda merupakan daya pendorong untuk mencoba lebih maju lagi.

e. Sikap Kemandirian dan Disiplin Murni

Generasi muda memiliki keinginan untuk selalu mandiri dalam sikap dan tindakannya. Sikap kemandirian itu perlu dilengkapi dengan kesadaran disiplin murni pada dirinya agar mereka dapat menyadari batas-batas yang wajar dan memiliki tenggang rasa.

f. Terdidik

Walaupun dengan memperhitungkan faktor putus sekolah, secara menyeluruh baik dalam arti kualitatif maupun dalam arti kuantitatif, generasi muda secara relatif lebih terpeljar karena lebih terbukanya kesempatan belajar dari generasi pendahulunya.

g. Keanekaragaman dalam Persatuan dan Kesatuan.

Keanekaragaman generasi muda merupakan cermin dari keanekaragaman masyarakat kita. Keanekaragaman tersebut dapat menjadi hambatan jika dihayati secara sempit dan eksklusif. Akan tetapi, keanekaragaman masyarakat Indonesia merupakan potensi dinamis dan kreatif jika ditempatka dalam kerangka integrasi nasional yang didasarkan pada semangat sumpah pemuda serta kesamaan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

h. Patriotisme dan Nasionalisme

Pemupukan rasa kebanggaan, kecintaan, dan turut serta memiliki bangsa dan negara dikalangan generasi muda perlu digalakkan karena pada gilirannya akan mempertebal semangat pengabdian dan kesiapan mereka untuk membela dan mempertahankan NKRI dari segala bentuk ancaman. Dengan tekad dan semangat ini, generasi muda perlu dilibatkan dalam setiap usaha dan pemantapan ketahanan dan pertahanan nasional.

i. Sikap Kesatria

Kemurnian idealisme, keberanian, semangat pengabdian dan pengorbanan serta rasa tanggung jawab sosial yang tinngi adalah unsur-unsur yang perlu dipupuk dan dikembangkan dikalangan generasi muda Indonesia sebagai pembela dan penegak kebenaran dan keadilan bagi masyarakat dan bangsa.

j. Kemampuan Penguasaan Ilmu dan Teknologi

Generasi muda dapat berperan secara berdaya guna dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi bila secara fungsional dapat dikembangkan sebagai Transformator dan Dinamisator terhadap lingkungannya yang lebih terbelakang dalam ilmu dan pendidilkan serta penerapan teknologi, baik yang maju, maupun yang sederhana.


Sumber :
http://soaseo.blogspot.co.id/2012/01/pemuda-dan-sosialisasi.html

Etnosentrisme

Etnosentrisme, Pentingkah? Oleh : Dio Satrio Jati Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat, terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai dinamika kebudayaan di Indonesia. Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung untuk merndahkan kelompok lainya? Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang tidak. Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja. Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial. Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat terjadinya kelompok sosial meliputi : 1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota dalam suatu kelompok Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku Bersistem dan berproses Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial adalah : 1.Tujuan yang sama 2.Nasib yang sama 3.Kepentingan yang sama 4.Ideologi politik yang sama 5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi pengikat. Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain. Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita. Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia. Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka. Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian, tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna menciptakan integrasi bangsa secara nasional. Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada. Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya[3]. Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya. Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya. Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang karakteristisnya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d2
ai daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bag

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme, Pentingkah? Oleh : Dio Satrio Jati Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat, terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai dinamika kebudayaan di Indonesia. Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung untuk merndahkan kelompok lainya? Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang tidak. Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja. Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial. Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat terjadinya kelompok sosial meliputi : 1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota dalam suatu kelompok Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku Bersistem dan berproses Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial adalah : 1.Tujuan yang sama 2.Nasib yang sama 3.Kepentingan yang sama 4.Ideologi politik yang sama 5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi pengikat. Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain. Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita. Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia. Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka. Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian, tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna menciptakan integrasi bangsa secara nasional. Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada. Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya[3]. Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya. Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya. Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang karakteristisnya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme, Pentingkah? Oleh : Dio Satrio Jati Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat, terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai dinamika kebudayaan di Indonesia. Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung untuk merndahkan kelompok lainya? Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang tidak. Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja. Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial. Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat terjadinya kelompok sosial meliputi : 1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota dalam suatu kelompok Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku Bersistem dan berproses Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial adalah : 1.Tujuan yang sama 2.Nasib yang sama 3.Kepentingan yang sama 4.Ideologi politik yang sama 5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi pengikat. Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain. Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita. Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia. Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka. Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian, tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna menciptakan integrasi bangsa secara nasional. Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada. Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya[3]. Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya. Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya. Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang karakteristisnya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme, Pentingkah? Oleh : Dio Satrio Jati Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat, terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai dinamika kebudayaan di Indonesia. Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung untuk merndahkan kelompok lainya? Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang tidak. Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja. Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial. Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat terjadinya kelompok sosial meliputi : 1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota dalam suatu kelompok Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku Bersistem dan berproses Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial adalah : 1.Tujuan yang sama 2.Nasib yang sama 3.Kepentingan yang sama 4.Ideologi politik yang sama 5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi pengikat. Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain. Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita. Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia. Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka. Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian, tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna menciptakan integrasi bangsa secara nasional. Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada. Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya[3]. Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya. Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya. Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang karakteristisnya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme, Pentingkah? Oleh : Dio Satrio Jati Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat, terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai dinamika kebudayaan di Indonesia. Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung untuk merndahkan kelompok lainya? Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang tidak. Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja. Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan, pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial. Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat terjadinya kelompok sosial meliputi : 1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok yang bersangkutan Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota dalam suatu kelompok Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku Bersistem dan berproses Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial adalah : 1.Tujuan yang sama 2.Nasib yang sama 3.Kepentingan yang sama 4.Ideologi politik yang sama 5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi pengikat. Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain. Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita. Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia. Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka. Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian, tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna menciptakan integrasi bangsa secara nasional. Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada. Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya. Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya[3]. Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan identitasnya. Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel. Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya. Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang karakteristisnya.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
ai daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bag

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d2

PENGERTIAN ETNOSENTRISME 

           Etnosentrisme merupakan suatu persepsi yang dimiliki oleh tiap-tiap individu yang menganggap budayanya merupakan yang terbaik dari budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain. Etnosentrisme tersebut dapat juga diartikan sebagai fanatisme suku bangsa.  
Segi positif Etnosentrisme diantaranya ialah 
  1. menjaga kestabilan serta keutuhan budaya, 
  2. dapat mempertinggi semangat patriotisme dan juga kesetiaan kepada bangsa, 
  3. dapat memperteguh rasa cinta terhadap kebudayaan / bangsa.

Penyebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia:

Budaya Politik

Faktor yang mendasar yang menjadi penyebab akan munculnya etnosentrisme ini adalah budaya politik dari masyarakat yang cenderung tradisional serta tidak rasionalis. Budaya politik masyarakat tersebut kita masih tergolong budaya politik subjektif Ikatan emosional serta ikatan-ikatan primordial yang masih cenderung menguasai masyarakat yang ada di Indonesia . Masyarakat terlibat didalam dunia politik yaitu kepentingan mereka yang sangat mementingkan suku, etnis, agama dll. 

Pluralitas Bangsa Indonesia

faktor yang lain , penyebab munculnya masalah etnosentrisme ialah pluralitas Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, ras serta golongan. Pluralitas masyarakat Indonesia tersebut tentu melahirkan berbagai persoalan. Pada tiap-tiap suku, agama, ras serta golongan berusaha untuk dapat memperoleh kekuasaan serta juga menguasai yang lain.Masalah kepentingan inilah yang faktor yang banyak memunculkan persoalan-persoalan pada tiap-tiap daerah.

Dampak Positif dan Negatif dari Etnosentrisme 

Dampak positif dari etnosentrisme adalah 

  1. dapat  mempertinggi semangat patriotisme, 
  2. menjaga keutuhan serta juga stabilitas kebudayaan, 
  3. mempertinggi rasa cinta kepada bangsa sendiri.
Sikap etnosentrisme adalah sikap tolak ukur budaya seseorang dengan budayanya .
Dampak Negatif dari etnosentrisme adalah,
  1. Dapat menyebabkan konflik antar suku.
  2. Adanya alirannya politik.
  3. Menghambat proses asimilasi budaya yang berbeda.

Definisi Primordialisme, Etnosentrisme, dan Politik Aliran

Primordialisme
Istilah Primordialisme tersebut berasal dari bahasa latin yakni Primus yang memiliki arti pertama, serta Ordiri yang memiliki arti tenunan /ikatan. Jadi , Primordial bisa diartikan sebagai ikatan-ikatan utama seseorang didalam kehidupan sosialnya, dengan adanya hal-hal yang dibawanya sejak lahir seperti,  suku , ras, klan, asal-usul kedaerahan, serta agama.
Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan suatu sikap dalam menilai kebudayaan masyarakat lain dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku pada masyarakatnya. 
Politik Aliran 
Politik Aliran / Sektarian adalah suatu keadaan yang mana sebuah kelompok / organisasi tertentu dikelilingi oleh organisasi massa baik formal ataupun informal. Tali pengikat kelompok / organisasi massa ini merupakan ideologi/aliran sekte tertentu.

Sumber :
http://www.pendidikanku.org/2016/07/pengertian-etnosentrisme-dan-dampaknya.html

Pelapisan Sosial

 Pengertian Pelapisan Sosial

Kata stratification berasal dari kata stratum, jamaknya strata yang berarti lapisan. Menurut Pitirim A. Sorokin, pelapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis. Hal tersebut dapat kita ketahui adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah dalam masyarakat.
Menurut P.J. Bouman, pelapisan sosial adalah golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu.Oleh karena itu, mereka menuntut gengsi kemasyarakatan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kehidupan anggota masyarakatyang berada di kelas tinggi. Seseorang yang berada di kelas tinggi mempunyai hak-hak istimewa dibanding yang berada di kelas rendah.
Pelapisan sosial merupakan gejala yang bersifat universal. Kapan pun dan di dalam masyarakat mana pun, pelapisan sosial selalu ada. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyebut bahwa selama dalam masyarakat ada sesuatuyang dihargai, maka dengan sendirinya pelapisan sosial terjadi. Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat bisa berupa harta kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kekuasaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelapisan sosial adalah pembedaan antar warga dalam masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial secara bertingkat. Wujudnya adalah terdapat lapisan-lapisan di dalam masyarakat diantaranya ada kelas sosial tinggi, sedang dan rendah.
Pelapisan sosial merupakan perbedaan tinggi dan rendahnya kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompoknya, bila dibandingkan dengan posisi seseorang maupun kelompok lainnya. Dasar tinggi dan rendahnya lapisan sosial seseorang itu disebabkan oleh bermacam-macam perbedaan, seperti kekayaan di bidang ekonomi, nilai-nilai sosial, serta kekuasaan dan wewenang


Aspek Positif dan Negatif dari Sistem Pelapisan Sosial

Sistem pelapisan sosial yang terjadi dalam masyarakat sangatlah mungkin terjadi, karena adanya tingkatan kesenjangan-kesenjangan yang didasari dari beberapa hal misalnya dari segi Ekonomi, ini akan menimbulkan stratifikasi sosial yang sangat mencolok. Masyarakat dan lingkungan sosialnya menjadi elemen yang tak dapat terpisahkan sehingga akan menimbulkan efek-efek tertentu sesuai dengan pola pikir dan lingkungan masyarakt sosial itu sendiri.

Beberapa aspek yang akan timbul akan menimbulkan kesenjangan sosial dan diskriminasi, aspek negatif ini bisa saja terjadi pada daerah-daerah pedesaan, pasalnya pedesaan yang umumnya petani akan senantiasa lebih dikuasai oleh tengkulak-tengkulak yang memainkan harga pasar yang cenderung seringkali merugikan para petani, contohnya para petani daun bakau untuk pembuatan rokok, harga bakau harus ditentukan oleh tengkulak yang sudah bekerja sama dengan produsen rokok yang telah memiliki nama. Tingkatan ekonomi lah yang membuat stratifikasi sosial ini muncul, belum lagi karena jabatan dan tingkat pendidikan.

Aspek lain dari pelapisan sosial ini bisa saja menjadi hal yang menguntugkan bagi sebagian orang, aspek positif ini dapat kita jumpai di berbagai tempat contohnya jika kita seorang pejabat pemerintah kita mungkin akan sedikit lebih mudah dalam urusan birokrasi, karena adanya bantuan orang dalam yang memiliki jabatan. Plapisan sosial di pedesaan mungkin akan menimbulkan hal baik bagi para pencari modal apabila seseorang yang memilik tingkat ekonomi menengah ke atas berpendidikan tinggi juga mempunyai jabatan dapat bekerja sama dengan masyarakat ke bawah untuk saling membantu dengan mendirikan koperasi kecil-kecilan dengan modal yang sudah di danai oleh orang yang mempunyai pengaruh kuat di daerah itu.

Pelapisan sosial pastilah terjadi dimanapun kita berada, namun tergantung dari bagaimana kita menyikapi dan menjaganya agar tidak adanya kecemburuan, kesenjangan, dan diskriminasi sosial pada masyarakat dalam tingkatan apapun, entah menengah ke atas atau ke bawah, semua manusia dengan derajat yang sama, yang membedakan tinggi rendah hanyalah akhlak yang mulia. Jika kita beruntung menjadi seorang yang tinggi di mata sosial, maka jangan menyalahgunakan kedudukan tinggi tersebut, dan jika kita berada dalam tingkatan rendah, maka berusahalah agar hidup kita menjadi bermakna bagi orang lain meski kita hanya orang biasa yang selalu tertindas.

Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Individu-individu yang terdiri dari berbagai  latar belakang tentu akan membentuk suatu masyarakat heterogen yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Dengan terjadinya kelompok sosial itu maka terbentuklah suatu pelapisan masyarakat atau masyarakat yang berstrata.
Jika dilihat dari kenyataan, maka Individu dan Masyarakat adalah Komplementer. dibuktikan bahwa:
a) Manusia dipengaruhi oleh masyarakat demi pembentukan pribadinya;
b) Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan bisa menyebabkan perubahan besar masyarakatnya.
Menurut Pitirim A.Sorokin, Bahwa “Pelapisan Masyarakat adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarchis)”.
Sedangkan menurut Theodorson dkk, didalam Dictionary of Sociology, bahwa “Pelapisan Masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang relatif permanent yang terdapat didalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai ke masyarakat) di dalam pembedaan hak, pengaruh, dan kekuasaan. Masyarakat yang berstratifikasi sering dilukiskan sebagai suatu kerucut atau piramida, dimana lapisan bawah adalah paling lebar dan lapisan ini menyempit ke atas.

Sumber :
https://raullycious.wordpress.com/2011/11/22/pengertian-pelapisan-sosial-dan-aspek-aspek-positif-dan-negatif-dari-sistem-pelapisan-sosial/

Teknologi & Sosial

Pengaruh Teknologi dalam Kehidupan Sosial

Pengaruh teknologi dalam kehidupan sosial - Di era serba canggih dan moderen ini, banyak kita temukan kasus perubahan sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang disebabkan oleh produk teknologi.
Televisi merupakan salah satu pesawat audio-visual populer hasil teknologi yang telah mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Seperti yang sudah kita ketahuidampak peningkatan kepemilikan televisi oleh masyarakat, dapat menyebabkan perubahan hubungan sosial terhadap masyarakat yang bersangkutan. Perubahan tersebut tidak hanya bagi anak-anak tetapi juga terjadi pada orang dewasa.
Pengaruh siaran televisi sering membuat anak lalai.  Misalnya, meninggalkan pelajaran mengaji dan malas mengulang pelajaran di rumah. Mereka lebih suka melihat siaran televisi sampai larut malam.
Akibatnya, sebagaimana diceritakan oleh para guru banyak peserta didik yang berperilaku menyimpang. Misalnya, bolos belajar, mengantuk di kelas dan mengalami kemunduran dalam belajar.
Dikalangan orang dewasa, terutama di daerah perkotaan ditemukan pula sesuatu gejala bahwa televisi dapat menyebabkan orang lebih betah di rumah. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya kebutuhan untuk mencari hiburan dan informasi di luar rumah.
Komunikasi dan interaksi sosial dengan masyarakat sekitarnya semakin berkurang. Begitu banyaknya saluran televisi dan menariknya siaran yang ditayangkan telah membuat orang tidak lagi sering berkunjung atau ngobrol dengan tetangga.

Anggota suatu komunitas menjadi asing satu sama lainnya. Hal ini dapat kita lihat dilingkungan kelas menengah, di kompleks-kompleks perumahan elite dan mewah di kota-kota besar.
Bagaimana di daerah pedesaan? Mungkin terjadi sedikit perbedaan dimana masyarakat masih berkesempatan untuk membangun interaksi sosial. Orang sering bertemu dan menjalin silaturahmi satu sama lainnaya. Mengapa?
Belum semua keluarga yang memiliki pesawat televisi. Biasanya di pedesaan televisi hanya dimiliki oleh beberapa orang kaya atau yang terpandang. Mereka yang tidak memiliki pesawat televisi berkumpul menyaksikan siaran televisi di rumah yang memiliki pesawat televisi.
Hal itu dapat meningkatkan hubungan antara pemilik televisi dan masyarakat sekitar serta sesama pemirsa televisi. Kemudian terbentuklah semacam kelompok baru masyarakat, yaitu pemirsa televisi.
Memang, kemajuan dan penggunaan produk teknologi seperti halnya pesawat televisi dan proses modernisasi telah membawa perubahan besar terhadap kehidupan sosial masyarakat.
Sumber :
http://www.matrapendidikan.com/2016/09/pengaruh-teknologi-dalam-kehidupan.html