“Look again at that dot. That's here. That's home. That's us. On it
everyone you love, everyone you know, everyone you ever heard of, every
human being who ever was, lived out their lives. The aggregate of our
joy and suffering, thousands of confident religions, ideologies, and
economic doctrines, every hunter and forager, every hero and coward,
every creator and destroyer of civilization, every king and peasant,
every young couple in love, every mother and father, hopeful child,
inventor and explorer, every teacher of morals, every corrupt
politician, every "superstar," every "supreme leader," every saint and
sinner in the history of our species lived there-on a mote of dust
suspended in a sunbeam.
The Earth is a very small stage in a vast cosmic arena. Think of the
endless cruelties visited by the inhabitants of one corner of this
pixel on the scarcely distinguishable inhabitants of some other corner,
how frequent their misunderstandings, how eager they are to kill one
another, how fervent their hatreds. Think of the rivers of blood spilled
by all those generals and emperors so that, in glory and triumph, they
could become the momentary masters of a fraction of a dot.
Our posturings, our imagined self-importance, the delusion that we
have some privileged position in the Universe, are challenged by this
point of pale light. Our planet is a lonely speck in the great
enveloping cosmic dark. In our obscurity, in all this vastness, there is
no hint that help will come from elsewhere to save us from ourselves.
The Earth is the only world known so far to harbor life. There is
nowhere else, at least in the near future, to which our species could
migrate. Visit, yes. Settle, not yet. Like it or not, for the moment the
Earth is where we make our stand.
It has been said that astronomy is a humbling and character-building
experience. There is perhaps no better demonstration of the folly of
human conceits than this distant image of our tiny world. To me, it
underscores our responsibility to deal more kindly with one another, and
to preserve and cherish the pale blue dot, the only home we've ever
known.”
― Carl Sagan, Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space
Sabtu, 12 November 2016
Rabu, 09 November 2016
Hubungan Teknologi Dengan Kemiskinan
TEKNOLOGI DAN KEMISKINAN
1) pengertian Teknologi
Para sarjana telah banyak memberikan pengertian
tentang teknologi, di mana masing-masing berbeda dalam sudut pandangannya.
Menurut Walter Buckingham yang di maksud dengan teknologi adalah ilmu
pengetahuan yang diterapkan ke dalam seni industri serta oleh karenanya
mencakup alat-alat yang memungkinkan terlaksananya efisiensi tenaga kerja
menurut keragaman kemampuan.
Dari pengertian teknologi di atas dapat kecenderungan
bahwa teknologi dianggap sebagai penerapan ilmu pengetahuan, dalam pengertian
bahwa perapan itu menuju keperbuatan atau perwujudan sesuatu. Kecenderungan ini
pun mempunyai suatu akibat di mana kalau teknologi dianggap sebagai penerapan
ilmu pengetahuan, dalam perwujud maka dengan sendirinya setiap jenis teknologi
atau bagian ilmu pengetahuan dapat diteknologikan. Dengan demikian teknologi
tidak dapat ada tanpa berpasangan dengan ilmu pengetahuan, dan pengetahuan
tentang teknologi perlu disertai oleh pengetahuan akan ilmu pengetahuan yang
menjadi pasangannya.
Macam-macam Teknologi
Ada tiga macam teknologi yang sering dikemukakan para
ahli, yaitu :
a. Teknologi modern
Jenis teknologi modrn ini mempunyai cirri-ciri sebagai
berikut :
- Padat modal
- Mekanis elektris
- Menggunakan bahan import
- Berdasarkan penelitian mutakhir dan lain-lain
b. Teknologi madya
Jenis teknologi madya ini mempunyai cirri-ciri sebagai
berikut :
- Padat karya
- Dapat dikerjakan oleh ketrampilan setempat
- Menggunakan alat setempat
- Berdasarkan suatu penelitian
c. Teknologi tradisional
- Teknologi ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
- Bersifat padat karya (banyak menyerap tenaga kerja )
- Menggunakan keterampilan setempat
- Menggunakan alat setempat
- Menggunakan bahan setempat
- Berdasarkan kebiasaan atau pengamatan.
2) pengertian kemiskinan
Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk
problem yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di
Negara-negara yang sedang berkembang. Masalah kemiskinan ini menuntut adanya
suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh
dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai
upaya untuk mempercapat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan.
Istilah kemiskinan sebenarnya bukan merupakan suatu
hal yang asing dalam kehidupan kita. Kemiskinan yang dimaksud di sini adalah
kemiskinan ditinjau dari segi material (ekonomi).
Menurut Prof. dr. emil Salim yang dimaksud dengan
kemiskinan adalah merupakan suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.
Atau dengan istilah lain kemiskinan itu merupakan
ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mengalami keresahan,
kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langkah hidupnya.
Factor-faktor timbulnya kemiskinan
Ada beberapa factor yang menyebabkan timbulnya
kemiskinan yaitu :
a. Pendidikan yang terlampau rendah
Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah
menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan
dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan/keterampilan yang dimiliki
menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk masuk dalam dunia kerja. Atas dasar
kenyataan di atas dia miskin karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya.
b. Malas bekerja
Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup
memprihatinkan, karena masalah ini menyangkut mentalitas dan kepribadian
seseorang. Adanya sikap malas ini seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak
bergairah untuk bekerja. Atau bersikap pasif dalam hidupnya (sikap bersandar
pada nasib). Sikap malas ini cenderung untuk menggantungkan hidupnya pada orang
lain, baik dari keluarga, saudara atau family yang dipandang mempunyai
kemampuan untuk menanggung kebutuhan hidup mereka.
c. Keterbatasan sumber alam
Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila
sumber alam nya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering
dikatakan oleh para ahli, bahwa masyarakat itu miskin karena memang dasarnya
“alamiah miskin”.
Alamiah miskin yang dimaksud di sini adalah kekayaan
alamnya, misalnya tanahnya berbatu-batu, tidak menyimpan kekayaan mineral…dan
sebagainya. Dengan demikian layaklah kalau miskin sumber daya alam miskin juga
masyarakatnya.
d. Terbatasnya lapangan kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi
kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal banyak orang mengatakan bahwa
seseorang/masyarakat harus mampu menciptakan lapangan kerja baru. Tetapi secara
factual hal tersebut kecil kemungkinannya, karena adanya keterbatasan kemampuan
seseorang baik yang berupa “skill” maupun modal.
e. Keterbatasan modal
Keterbatasan
modal adalah sebuah kenyataan yang ada di Negara-negara yang sedang berkembang,
kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagian besar masyarakat di Negara
tersebut. Seorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi
alat ataupun bahan dalam rangka
menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh
penghasilan. Keterbatasan modal bagi
Negara-negara yang sedang berkembang dapat diibaratkan sebagai suatu lingkaran
yang tak berujung pangkal baik dari segi permintaan akan modal maupun dari segi
penawaran akan modal.
f. Beban keluarga
Semakin banyak anggota keluarga akan semakin
banyak/meningkat pula tuntunan/beban untuk hidup yang harus dipenuhi. Seseorang
yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha
peningkatan pendapatan sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka
memang berangkat dari kemiskinan. Kenaikan pendapatan yang dibarengi dengan
pertambahan jumlah keluarga, berakibat kemiskinan akan tetap melanda dirinya
dan bersifat laten.
Dalam kenyataannya, sistem perekonomian, sistem tata
nilai dan sikap manusia dalam mengelola kekayaan alam yang dikuasai sangat
berlainan. Di satu pihak orang ingin selalu (terus menerus) meningkatkan
kekayaan dan taraf hidupnya setinggi mungkin. Di pihak lain ada penduduk dunia
yang cukup santai dalam menggunakan kekayaan sumber-sumber daya tanpa memperdulikan
upaya-upaya pelestariannya.
Peperangan, konflik politik dan adanya pengungsian
penduduk yang masih dan terus berlangsung di dunia hingga saat ini menunjukan
adanya sikap tamak manusia dan sukarnya dicapai kesamaan pandangan dalam hal
memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Kalau secara teori dan teknis, dengan ilmu
dan teknologinya orang telah dapat meningkatkan daya dukung sumber-sumber dari
kehidupan umat manusia yang lebih baik, dalam kenyataan nya Negara-negara maju
yang kaya dengan penduduk yang lebih sedikit telah menguasai sebagian terbesar
sumber-sumber daya yang ada di bumi, baik lewat pengaruh kekuasaan politik
maupun lewat sistem ekonomi liberal yang menjadikan Negara-negara berkembang makin
bergantung dan makin tertinggal dalam perkembangan perekonomian dan taraf
hidupnya.
Kesenjangan yang ada antara Negara-negara industry
maju dengan Negara berkembang makin melebar. Maka muncullah akhir-akhir ini
upaya-upaya menyelaraskan perkembangan dengan dialog utara selatan, dan seruan
yang cukup vocal untuk mewujudkan tata perekonomian dunia baru.
Lepas dari upaya banyak bangsa untuk mewujudkan tata
kehidupan yang lebih berimbang, factor jumlah dan pengendalian penduduk serta
peningkatan pengetahuan merupakan hal-hal yang sangat esensial, agar kehidupan
penduduk Negara-negara berkembang dapat cepat meningkat secara layak.
Dalam sejarah perkembangan perekonomian dunia kemajuan
telah dicapai lewat perjuangan dan kerja keras. Pada saat ini banyak orang
berpendapat bahwa alih teknologi tidaklah begitu saja dapat diperoleh dan juga
tidak selalu menjadikan obat mujarab bagi upaya peningkatan perekonomian
Negara-negara berkembang.
Dengan munculnya korporasi-korporasi multi nasional,
teknologi sekarang merupakan juga komoditi atau barang dagangan, yang cenderung
terkena juga praktek monopoli. Kalau teknik dapat diartikan antara lain sebagai
lapangan pengetahuan yang memusatkan perhatiannya pada cara membuat atau
membentuk benda-benda materil, yaitu dengan menciptakan atau mewujudkan
benda-benda nyata berdasarkan usaha manusia, maka teknologi dapat diartikan
sebagai ilmuyang menyelidiki cara-cara kerja dalam teknik. Memang, teknologi sekarang
dapat dibeli. Tetapi dengan teknologi maju yang diimpor suatu masyarakat yang
sedang membangun belum tentu memperoleh manfaat yang sepadan; kalaupun tidak
lalu menjadi demikian tergantung pada penyedia/pemberi teknologi maju. Karena
itu banyak Negara berkembang yang ilmu dan teknologinya belum begitu maju ada
kalanya lebih memilih pengembangan teknologi madya terlebih dahulu, yaitu
teknologi yang tidak memerlukan dasar pengetahuan yang demikian canggihnya dan
umumnya dalam penggunaannya masih menyerap cukup banyak tenaga kerja. Di
samping mencoba membuat terobosan-terobosan melalui pengembangan teknologi maju
untuk mengajar ketertinggalannya, Indonesia juga menggalakkan pengembangan dan
penerapan teknologi tepat guna, yaitu bentuk teknologi yang lebih banyak
mendayagunakan bahan-bahan setempat dan bersifat member manfaat lansung kepada
sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan kurang. Dengan menerapkan
teknologi maju yang hanya memerlukan sedikit tenaga (yang ahli) dampak negative
yang mungkin timbul adalah : (1) diberhentikan sebagian tenaga kerja, yang
berarti menambah jumlah pengangguran, (2) karena efisiensi kerja pemakayan
teknologi maju yang tinggi, usaha-usaha industry kecil yang masih memakai
teknologi yang lebih bersahaya tak mampu bersaing dan terancam bangkrut, (3)
bila teknologi maju diperoleh lewat membeli, tanpa disertai usaha menyiapkan
pengetahuan yang diperlukan untuk melayani dan mengembangkannya, akan cenderung
terjadi ketergantungan yang berkelanjutan kepada pihak pemberi/penyedia
teknologi maju tersebut.
Dalam kenyataan nya sekarang, banyak Negara berkembang
menjadi demikian bergantung kepada
Negara-negara industry maju oleh sebab keinginan kuat segera menerapkan
teknologi maju seperti yang banyak terdapat di negeri industri, dan dengan
begitu saja menerapkan teori pengembangan sebagaimana yang telah berlaku atau
dipakai oleh Negara Eropa dan Amerika. Ketergantungan tidak saja terbatas pada
bidang ilmu dan teknologi (lewat bantuan saran-saran para konsultan dan program
pendidikan dan latihan yang dihadiahkan oleh Negara-negara industri maju),
tetapi juga dibidang perekonomian dan keuangan Negara yang bersangkutan. Ini
ternyata dari banyaknya Negara berkembang yang mengalami kesulitan dalam
pengembalian pinjaman (hutang) dari Negara industri sementara terus menemui
kesulitan dalam pembiayaan pembangunannya, yang berakibat adanya upaya untuk
menangguhkan atauu penjadwalan kembali pembayaran hutang Negara-negara
berkembang yang angka debt-serviceratio-nya (DRS =angka rasio nilai ekspor dan
jumlah hutang luar negeri yang harus di bayar setahun) sudah demikian tinggi.
Upaya peningkatan taraf kehidupan tida lepas dari
masalah kependudukan. Masalah penduduk menyangkut persoalan jumlah dan
persoalan mutu. Keberhasilan peningkatan taraf hudup tidaklah bergantung
semata-mata pada kemampuan fisik yang lebih baik. Kualitas non fisik penduduk
yang serupa sikap hemat, disiplin, kerja keras, semangat mengembangkan diri dan
sebagainya merupakan factor-faktor yang tidak kalah pentingnya bagi usaha meningkatkan
taraf hidup. Jepang mmerupakan satu contoh bangsa yang telah demikian berhasil
dengan cepat meningkatkan taraf hidup dan perekonomiannya (baik sejak masa
restorasi maupun dalam kebangkitannya kembali dari kehancuran oleh kalah
perang) dengan modal kualitas non fisik penduduknya.
Secara umum peningkatanperekonomian akan bergantung
pada tersedianya modal dan juga tingginya produktivitasusaha. Modal akan
terbentuk lewat investasi dari hasil tabungan. Orang akan lebih bisa menabung
kalau hidupnya hemat. Sedang produktivitas usaha akan berkaitan dengan
pengetahuan, efisiensi kerja dan factor-faktor lain yang berkaitan dengan
kualitas non fhisik penduduk.
d. Teknologi dan kemiskinan
Salah satu penyebab kesengsaraan atau penderitaan
manusia adalah kemiskinan. Kemiskinan biasanya sejalan dengan kelaparan dan
wabah penyakit, yang sering kali terjadi di Negara-negara yang sedang
berkembang. Lapisan masyarakat banyak yang hidup dalam kemiskinan berusaha
mati-matian untuk dapat mencapai kehidupan yang menyenangkan. Tetapi kebanyakan
tetap tinggal terhambat pada garis kemiskinan dan bahkan di bawah kemiskinan.
Perlu diketahui salah satu unsure terpenting dalam
pertumbuhan ekonomi adalah kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi mengakibatkan dalam struktur
produksi maupun dalam komposisi tenaga kerja yang diperlukan dalam proses
produksi mengalami perubahan. Bagi tenaga kerja yang mempunyai ketrampilan
teknis yang tinggi, akan terbuka lebih banyak kesempatn-kesempatan kerja yang
baik. Tetapi tenaga kerja yang tida berketrampilan atau yang hanya mempunyai
ketrampilan rendah akan tergeser akan kadang-kadang kehilangan sama sekali
pekerjaan mereka.
Selama dua dasawarsa (1960 – 1980) yang baru lalu
beberapa Negara berkembang dari hasil pembangunan telah mengalami pertumbuhan
ekonomi yang pesat malahan lebih pesat
dari yang pernah dialami oleh Negara-negara industry barat selama tahap-tahap
permulaan dari proses industrialisasi mereka, namun pertumbuhan ekonomi yang
pesat tersebut pada umumnya ternyata tidak terlalu berhasil dalam penyediaan
kesempatan kerja yang produktif bagi penduduk.
Bahkan di Negara-negara yang telah mengalami penurunan
dalam prosentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan penurunan relatip
sering di tiadakan oleh pertambahan penduduk yang pesat, sehingga hamper tidak
mengurangi jumlah absolute penduduk yang miskin. Salahsatu kasus yang dapat
disebut dalam hubungan tersebut adalah pulau jawa, yang selama masa 1967-1976
telah mengalami penurunan yang cukup besar dalam persentase penduduk yang hidup
dalam kemiskinan, namun gagal dalam mengurangi secara berarti jumlah absolute
penduduk yang miskin, karena pertumbuhan penduduk yang pesat.
Di samping tidak tercapainya pengurangan secara
berarti dari kemiskinan, penganguran serta setengah penganguran, maka
pertumbuhan ekonomi yang pesat di banyak Negara berkembang juga disertai oleh
ketimpangan yang semakin meningkat dalam pembagian pendapatan (ketimpangan
relatif) hal tersebut memang tidak mengherankan bagi ahli lain ekonomi.
Misalnya Kuznets mengemukakan bahwa dalam masa pertumbuhan ekonomi selalu ada
ketimpangan redistribusi pendapatan, dimana dalam pertumbuhan ekonomi yang
cepat, golongan berpenghasilan rendah selalu ketinggalan kemajuan, tidak mampu
mengikuti berpartisipasi. Karenanya mereka tidak mampu memanpaatkan proses
redistribusi pendapatannya.
Di Indonesia pola perkembangan pembangunan juga mengikuti
pendapatan yang dikemukakan Kuznets, artinya golongan miskin kurang terjamah
oleh hasil-hasil pertumbuhan ekonomi. Mengapa mereka tidak terangkat, padahal
pemerintah telah mengambil kebijaksanaan penyebaran proyek-proyek ke
daerah-daerah, desa-desa, misalnya adanya kredit bimas, KIK, KMKP, KCK, padat
karya dan sebagainya.
Bila diteliti golongan-golongan miskin yang tidak
terjamah oleh hasil-hasil pembangunan, karena :
a) Ketimpangan dalam peningkatan pendidikan.
Selama belum ada kewajiban belajar golongan miskin
tida akan mampu berpartisipasi mengenyam peningkatan anggaran pendidikan.
b) Ketidakmerataan kemampuan untuk berpartisipasi. Untuk berpartisipasi diperlukan tingkat
pendidikan, ketrampilan, relasi, dan sebagainya. Golongan miskin tidak
memilikinya.
c) Ketidakmerataan pemilikan alat-alat produksi. Golongan miskin tidak memiliki alat-alat
produksi, penghasilannya untuk makan saja sudah susah, sehingga tidak mungkin membentuk
modal.
d) Ketidakmerataan kesempatan terhadap modal dan kredit yang ada. Modal dan kredit pemberiannya
menghendaki syarat-syarat tertentu dan golongan miskin tidak mungkin memenuhi
persyaratanya.
e) Ketidamerataan menduduki jabatan-jabatan. Untuk mendapat pekerjaan yang dapat memberi makan
pada keluarga saja sudah susah, apalagi menduduki jabatan-jabatan yang sering
memerlukan relasi tertentu dan persyaratan tertentu.
f) Ketidamerataan mempengaruhi pasaran. Karena miskin dan pendidikannya rendah, maka tidak
mungkin golongan niskin dapat mempengaruhi pasaran.
g) Ketidamerataan kemampuan menghindari musibah misalnya penyakit, kecelakaan, dan
ketidaberuntungan lainnya. Bagi golongan miskin dibutuhkan bantuan untuk dapat
mengatasi musibah tersebut. Mengharapkan dari mereka sendiri untuk dapat
mengangkat dirinya tanpa pertolongan, sukar dipastikan.
h) Laju pertambahan penduduk lebih memberatkan golongan miskin. Dengan jumlah keluarga
besar, mereka sulit dapat menyekolahkan, member makan, dan pakayan secukupnya.
Hanya keluarga yang kaya atau berpenghasilan besar sajalah yang mampu.
Dapatlah dipastikan bahwa golongan berpenghasilan
rendah, karena kurang terjamah pendidikan, tidak memiliki sarana-sarana
misalnya kredit, modal, alat-alat produksi, relasi dan sebagainya, tidak akan
mampu berpartisifasi dalam pertumbuhan ekonomi dan menikmati pembagian
hasil-hasilnya tanpa adanya kebijaksanaan khusus yang ditujukan untuk
mengangkat mereka.
Penelitian yang diadakan di daerah perkotaan di jawa,
sundrum telah menemukan bahwa selama tahun 1970 sampai tahun 1976 ternyata
pembagian pendapatan memburuk, terutama di ibukota Jakarta. Dari hasil survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukan bahwa selama kurun waktu 1970
sampai 1976 persentase penduduk Indonesia yang miskin yaitu hidup di bawah
tingkat kemiskinan telah berkurang. Hal tersebut berlaku baik bagi Indonesia
sebagai keseluruhan, maupun jika diadakan perincian menurut daerah pedesaan dan
daerah perkotaan, baik di jawa maupun di luar jawa. Tingkat hidup absolute
semua golongan masyarakat telah meningkat, sehingga kemiskinan absolute di
Indonesia selama Repelita 1 dan tahun-tahun pertama Repelita 11 telah
berkurang. Perhitungan berbagai peneliti dapat disimpulkan bahwa persentase
penduduk Indonesia yang miskin telah menurun dari hamper 60% dalam tahun 1970
sampai kurang lebih 45% dalam tahun 1976.
Di lain pihak hasil-hasil SUSENAS telah
memperlihatkan, bahwa pembagian pendapatan selama kurun waktu yang sama telah
memburuk. Hal tersebut disebabkan karena laju kenaikan pendapatan golongan yang
berpendapatan tinggi telah meningkat jauh lebih pesat daripada penaikan
golongan yang berpendapatan rendah.
Di samping perkembangan tersebut, maka pembagian
pendapatan antara penduduk daerah perkotaan dan daerah pedesaan juga telah
memburuk. Hal tersebut disebabkan karena laju kenaikan pendapatan penduduk
perkotaan selama kurun waktu 1970 sampai 1976 rata-rata bertambah dua setengah
kali lebih cepat dari pada penduduk pedesaan.
Juka dirinci menurut daerah maka ketimpangan antara
pendapatan penduduk perkotaan dan pedesaan di jawa lebih besar daripada di luar
jawa.
Usaha mengatasi kemiskinan
Dari kegagalan kebijaksanaan konversional mengenai
pertumbuhan ekonomi di banyak Negara berkembang dalam mengurangi kemiskinan,
pengangguran dan disparitas ( ketimpangan) pendapatan secara berarti telah
memaksa baik para perencana ekonomi dan teknokrat maupun para peneliti ekonomi
untuk kembali mempelajari secara sungguh-sungguh kebijaksanaan tersebut, serta
mendorong mereka untuk mempelajari alternative-alternatif yang realities bagi
kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi yan konvensional. Dalam hal ini; pendekatan
kebutuhan dasar dalam perencanaan pembangunan merupakan hasil yang logis dari
sesuatu proses reorientasi yang panjang dalam pemikiran tentang pembangunan.
Dari hasil-hasil penelitian kemudian pusat perhatian
para ahli lambat laun mulai bergeser dari tekanan pada penciptaan lapangan
kerja yang memadai ke penghapusan kemiskinan, dan akhirnya ke penyediaan
barang-barang dan jasa-jasa kebutuhandasar bagi seluruh penduduk, yang berupa
dua perangkat, yaitu :
a) Perangkat kebutuhan konsumsi perorangan akan pangan, sandang dan pemukiman.
b) Perangkat yang mencakup penyediaan jasa umum dasar, seperti fasilitas kesehatan,
pendidikan, saluran air minum, pengangkutan, dan kebudayaan.
Di samping kedua perangkat tersebut, kebutuhan dasar
atau kebutuhan dasar manusiawi kadang-kadang juga digunakan untuk mencakup tiga
sasaran lain, yaitu:
1) Hak atas pekerjaan produktif dan yang memberikan imbalan yang layak, sehingga cukup
untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap rumah tangga atau perorangan.
2) Prasarana yang mampu menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk.
3) Partisipasi seluruh penduduk, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan
proyek-proyek yang berhubungan dengan penyediaan barang-barang dan jasa-jasa
kebutuhan dasar.
Pengalaman dari Negara-negara Asia Timur,yaitu korea,
Taiwan, jepang menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan disertai
pemerataan hasil-hasil pembangunan dapat tercapai karena di Negara-negara
tersebut program pembangunan pedesaan (rural development program) sangat
diutamakan.
Sumber :
http://www.wasiclub.id/2016/04/teknologi-dan-kemiskinan.html
1) pengertian Teknologi
Para sarjana telah banyak memberikan pengertian
tentang teknologi, di mana masing-masing berbeda dalam sudut pandangannya.
Menurut Walter Buckingham yang di maksud dengan teknologi adalah ilmu
pengetahuan yang diterapkan ke dalam seni industri serta oleh karenanya
mencakup alat-alat yang memungkinkan terlaksananya efisiensi tenaga kerja
menurut keragaman kemampuan.
Dari pengertian teknologi di atas dapat kecenderungan
bahwa teknologi dianggap sebagai penerapan ilmu pengetahuan, dalam pengertian
bahwa perapan itu menuju keperbuatan atau perwujudan sesuatu. Kecenderungan ini
pun mempunyai suatu akibat di mana kalau teknologi dianggap sebagai penerapan
ilmu pengetahuan, dalam perwujud maka dengan sendirinya setiap jenis teknologi
atau bagian ilmu pengetahuan dapat diteknologikan. Dengan demikian teknologi
tidak dapat ada tanpa berpasangan dengan ilmu pengetahuan, dan pengetahuan
tentang teknologi perlu disertai oleh pengetahuan akan ilmu pengetahuan yang
menjadi pasangannya.
Macam-macam Teknologi
Ada tiga macam teknologi yang sering dikemukakan para
ahli, yaitu :
a. Teknologi modern
Jenis teknologi modrn ini mempunyai cirri-ciri sebagai
berikut :
- Padat modal
- Mekanis elektris
- Menggunakan bahan import
- Berdasarkan penelitian mutakhir dan lain-lain
b. Teknologi madya
Jenis teknologi madya ini mempunyai cirri-ciri sebagai
berikut :
- Padat karya
- Dapat dikerjakan oleh ketrampilan setempat
- Menggunakan alat setempat
- Berdasarkan suatu penelitian
c. Teknologi tradisional
- Teknologi ini mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
- Bersifat padat karya (banyak menyerap tenaga kerja )
- Menggunakan keterampilan setempat
- Menggunakan alat setempat
- Menggunakan bahan setempat
- Berdasarkan kebiasaan atau pengamatan.
2) pengertian kemiskinan
Kemiskinan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk
problem yang muncul dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat di
Negara-negara yang sedang berkembang. Masalah kemiskinan ini menuntut adanya
suatu upaya pemecahan masalah secara berencana, terintegrasi dan menyeluruh
dalam waktu yang singkat. Upaya pemecahan masalah kemiskinan tersebut sebagai
upaya untuk mempercapat proses pembangunan yang selama ini sedang dilaksanakan.
Istilah kemiskinan sebenarnya bukan merupakan suatu
hal yang asing dalam kehidupan kita. Kemiskinan yang dimaksud di sini adalah
kemiskinan ditinjau dari segi material (ekonomi).
Menurut Prof. dr. emil Salim yang dimaksud dengan
kemiskinan adalah merupakan suatu keadaan yang dilukiskan sebagai kurangnya
pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok.
Atau dengan istilah lain kemiskinan itu merupakan
ketidak mampuan dalam memenuhi kebutuhan pokok, sehingga mengalami keresahan,
kesengsaraan atau kemelaratan dalam setiap langkah hidupnya.
Factor-faktor timbulnya kemiskinan
Ada beberapa factor yang menyebabkan timbulnya
kemiskinan yaitu :
a. Pendidikan yang terlampau rendah
Dengan adanya tingkat pendidikan yang rendah
menyebabkan seseorang kurang mempunyai keterampilan tertentu yang diperlukan
dalam kehidupannya. Keterbatasan pendidikan/keterampilan yang dimiliki
menyebabkan keterbatasan kemampuan untuk masuk dalam dunia kerja. Atas dasar
kenyataan di atas dia miskin karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya.
b. Malas bekerja
Sikap malas merupakan suatu masalah yang cukup
memprihatinkan, karena masalah ini menyangkut mentalitas dan kepribadian
seseorang. Adanya sikap malas ini seseorang bersikap acuh tak acuh dan tidak
bergairah untuk bekerja. Atau bersikap pasif dalam hidupnya (sikap bersandar
pada nasib). Sikap malas ini cenderung untuk menggantungkan hidupnya pada orang
lain, baik dari keluarga, saudara atau family yang dipandang mempunyai
kemampuan untuk menanggung kebutuhan hidup mereka.
c. Keterbatasan sumber alam
Kemiskinan akan melanda suatu masyarakat apabila
sumber alam nya tidak lagi memberikan keuntungan bagi kehidupan mereka. Sering
dikatakan oleh para ahli, bahwa masyarakat itu miskin karena memang dasarnya
“alamiah miskin”.
Alamiah miskin yang dimaksud di sini adalah kekayaan
alamnya, misalnya tanahnya berbatu-batu, tidak menyimpan kekayaan mineral…dan
sebagainya. Dengan demikian layaklah kalau miskin sumber daya alam miskin juga
masyarakatnya.
d. Terbatasnya lapangan kerja
Keterbatasan lapangan kerja akan membawa konsekuensi
kemiskinan bagi masyarakat. Secara ideal banyak orang mengatakan bahwa
seseorang/masyarakat harus mampu menciptakan lapangan kerja baru. Tetapi secara
factual hal tersebut kecil kemungkinannya, karena adanya keterbatasan kemampuan
seseorang baik yang berupa “skill” maupun modal.
e. Keterbatasan modal
Keterbatasan
modal adalah sebuah kenyataan yang ada di Negara-negara yang sedang berkembang,
kenyataan tersebut membawa kemiskinan pada sebagian besar masyarakat di Negara
tersebut. Seorang miskin sebab mereka tidak mempunyai modal untuk melengkapi
alat ataupun bahan dalam rangka
menerapkan keterampilan yang mereka miliki dengan suatu tujuan untuk memperoleh
penghasilan. Keterbatasan modal bagi
Negara-negara yang sedang berkembang dapat diibaratkan sebagai suatu lingkaran
yang tak berujung pangkal baik dari segi permintaan akan modal maupun dari segi
penawaran akan modal.
f. Beban keluarga
Semakin banyak anggota keluarga akan semakin
banyak/meningkat pula tuntunan/beban untuk hidup yang harus dipenuhi. Seseorang
yang mempunyai anggota keluarga banyak apabila tidak diimbangi dengan usaha
peningkatan pendapatan sudah pasti akan menimbulkan kemiskinan karena mereka
memang berangkat dari kemiskinan. Kenaikan pendapatan yang dibarengi dengan
pertambahan jumlah keluarga, berakibat kemiskinan akan tetap melanda dirinya
dan bersifat laten.
Dalam kenyataannya, sistem perekonomian, sistem tata
nilai dan sikap manusia dalam mengelola kekayaan alam yang dikuasai sangat
berlainan. Di satu pihak orang ingin selalu (terus menerus) meningkatkan
kekayaan dan taraf hidupnya setinggi mungkin. Di pihak lain ada penduduk dunia
yang cukup santai dalam menggunakan kekayaan sumber-sumber daya tanpa memperdulikan
upaya-upaya pelestariannya.
Peperangan, konflik politik dan adanya pengungsian
penduduk yang masih dan terus berlangsung di dunia hingga saat ini menunjukan
adanya sikap tamak manusia dan sukarnya dicapai kesamaan pandangan dalam hal
memanfaatkan sumber-sumber yang ada. Kalau secara teori dan teknis, dengan ilmu
dan teknologinya orang telah dapat meningkatkan daya dukung sumber-sumber dari
kehidupan umat manusia yang lebih baik, dalam kenyataan nya Negara-negara maju
yang kaya dengan penduduk yang lebih sedikit telah menguasai sebagian terbesar
sumber-sumber daya yang ada di bumi, baik lewat pengaruh kekuasaan politik
maupun lewat sistem ekonomi liberal yang menjadikan Negara-negara berkembang makin
bergantung dan makin tertinggal dalam perkembangan perekonomian dan taraf
hidupnya.
Kesenjangan yang ada antara Negara-negara industry
maju dengan Negara berkembang makin melebar. Maka muncullah akhir-akhir ini
upaya-upaya menyelaraskan perkembangan dengan dialog utara selatan, dan seruan
yang cukup vocal untuk mewujudkan tata perekonomian dunia baru.
Lepas dari upaya banyak bangsa untuk mewujudkan tata
kehidupan yang lebih berimbang, factor jumlah dan pengendalian penduduk serta
peningkatan pengetahuan merupakan hal-hal yang sangat esensial, agar kehidupan
penduduk Negara-negara berkembang dapat cepat meningkat secara layak.
Dalam sejarah perkembangan perekonomian dunia kemajuan
telah dicapai lewat perjuangan dan kerja keras. Pada saat ini banyak orang
berpendapat bahwa alih teknologi tidaklah begitu saja dapat diperoleh dan juga
tidak selalu menjadikan obat mujarab bagi upaya peningkatan perekonomian
Negara-negara berkembang.
Dengan munculnya korporasi-korporasi multi nasional,
teknologi sekarang merupakan juga komoditi atau barang dagangan, yang cenderung
terkena juga praktek monopoli. Kalau teknik dapat diartikan antara lain sebagai
lapangan pengetahuan yang memusatkan perhatiannya pada cara membuat atau
membentuk benda-benda materil, yaitu dengan menciptakan atau mewujudkan
benda-benda nyata berdasarkan usaha manusia, maka teknologi dapat diartikan
sebagai ilmuyang menyelidiki cara-cara kerja dalam teknik. Memang, teknologi sekarang
dapat dibeli. Tetapi dengan teknologi maju yang diimpor suatu masyarakat yang
sedang membangun belum tentu memperoleh manfaat yang sepadan; kalaupun tidak
lalu menjadi demikian tergantung pada penyedia/pemberi teknologi maju. Karena
itu banyak Negara berkembang yang ilmu dan teknologinya belum begitu maju ada
kalanya lebih memilih pengembangan teknologi madya terlebih dahulu, yaitu
teknologi yang tidak memerlukan dasar pengetahuan yang demikian canggihnya dan
umumnya dalam penggunaannya masih menyerap cukup banyak tenaga kerja. Di
samping mencoba membuat terobosan-terobosan melalui pengembangan teknologi maju
untuk mengajar ketertinggalannya, Indonesia juga menggalakkan pengembangan dan
penerapan teknologi tepat guna, yaitu bentuk teknologi yang lebih banyak
mendayagunakan bahan-bahan setempat dan bersifat member manfaat lansung kepada
sebagian besar masyarakat yang berpenghasilan kurang. Dengan menerapkan
teknologi maju yang hanya memerlukan sedikit tenaga (yang ahli) dampak negative
yang mungkin timbul adalah : (1) diberhentikan sebagian tenaga kerja, yang
berarti menambah jumlah pengangguran, (2) karena efisiensi kerja pemakayan
teknologi maju yang tinggi, usaha-usaha industry kecil yang masih memakai
teknologi yang lebih bersahaya tak mampu bersaing dan terancam bangkrut, (3)
bila teknologi maju diperoleh lewat membeli, tanpa disertai usaha menyiapkan
pengetahuan yang diperlukan untuk melayani dan mengembangkannya, akan cenderung
terjadi ketergantungan yang berkelanjutan kepada pihak pemberi/penyedia
teknologi maju tersebut.
Dalam kenyataan nya sekarang, banyak Negara berkembang
menjadi demikian bergantung kepada
Negara-negara industry maju oleh sebab keinginan kuat segera menerapkan
teknologi maju seperti yang banyak terdapat di negeri industri, dan dengan
begitu saja menerapkan teori pengembangan sebagaimana yang telah berlaku atau
dipakai oleh Negara Eropa dan Amerika. Ketergantungan tidak saja terbatas pada
bidang ilmu dan teknologi (lewat bantuan saran-saran para konsultan dan program
pendidikan dan latihan yang dihadiahkan oleh Negara-negara industri maju),
tetapi juga dibidang perekonomian dan keuangan Negara yang bersangkutan. Ini
ternyata dari banyaknya Negara berkembang yang mengalami kesulitan dalam
pengembalian pinjaman (hutang) dari Negara industri sementara terus menemui
kesulitan dalam pembiayaan pembangunannya, yang berakibat adanya upaya untuk
menangguhkan atauu penjadwalan kembali pembayaran hutang Negara-negara
berkembang yang angka debt-serviceratio-nya (DRS =angka rasio nilai ekspor dan
jumlah hutang luar negeri yang harus di bayar setahun) sudah demikian tinggi.
Upaya peningkatan taraf kehidupan tida lepas dari
masalah kependudukan. Masalah penduduk menyangkut persoalan jumlah dan
persoalan mutu. Keberhasilan peningkatan taraf hudup tidaklah bergantung
semata-mata pada kemampuan fisik yang lebih baik. Kualitas non fisik penduduk
yang serupa sikap hemat, disiplin, kerja keras, semangat mengembangkan diri dan
sebagainya merupakan factor-faktor yang tidak kalah pentingnya bagi usaha meningkatkan
taraf hidup. Jepang mmerupakan satu contoh bangsa yang telah demikian berhasil
dengan cepat meningkatkan taraf hidup dan perekonomiannya (baik sejak masa
restorasi maupun dalam kebangkitannya kembali dari kehancuran oleh kalah
perang) dengan modal kualitas non fisik penduduknya.
Secara umum peningkatanperekonomian akan bergantung
pada tersedianya modal dan juga tingginya produktivitasusaha. Modal akan
terbentuk lewat investasi dari hasil tabungan. Orang akan lebih bisa menabung
kalau hidupnya hemat. Sedang produktivitas usaha akan berkaitan dengan
pengetahuan, efisiensi kerja dan factor-faktor lain yang berkaitan dengan
kualitas non fhisik penduduk.
d. Teknologi dan kemiskinan
Salah satu penyebab kesengsaraan atau penderitaan
manusia adalah kemiskinan. Kemiskinan biasanya sejalan dengan kelaparan dan
wabah penyakit, yang sering kali terjadi di Negara-negara yang sedang
berkembang. Lapisan masyarakat banyak yang hidup dalam kemiskinan berusaha
mati-matian untuk dapat mencapai kehidupan yang menyenangkan. Tetapi kebanyakan
tetap tinggal terhambat pada garis kemiskinan dan bahkan di bawah kemiskinan.
Perlu diketahui salah satu unsure terpenting dalam
pertumbuhan ekonomi adalah kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi mengakibatkan dalam struktur
produksi maupun dalam komposisi tenaga kerja yang diperlukan dalam proses
produksi mengalami perubahan. Bagi tenaga kerja yang mempunyai ketrampilan
teknis yang tinggi, akan terbuka lebih banyak kesempatn-kesempatan kerja yang
baik. Tetapi tenaga kerja yang tida berketrampilan atau yang hanya mempunyai
ketrampilan rendah akan tergeser akan kadang-kadang kehilangan sama sekali
pekerjaan mereka.
Selama dua dasawarsa (1960 – 1980) yang baru lalu
beberapa Negara berkembang dari hasil pembangunan telah mengalami pertumbuhan
ekonomi yang pesat malahan lebih pesat
dari yang pernah dialami oleh Negara-negara industry barat selama tahap-tahap
permulaan dari proses industrialisasi mereka, namun pertumbuhan ekonomi yang
pesat tersebut pada umumnya ternyata tidak terlalu berhasil dalam penyediaan
kesempatan kerja yang produktif bagi penduduk.
Bahkan di Negara-negara yang telah mengalami penurunan
dalam prosentase penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan penurunan relatip
sering di tiadakan oleh pertambahan penduduk yang pesat, sehingga hamper tidak
mengurangi jumlah absolute penduduk yang miskin. Salahsatu kasus yang dapat
disebut dalam hubungan tersebut adalah pulau jawa, yang selama masa 1967-1976
telah mengalami penurunan yang cukup besar dalam persentase penduduk yang hidup
dalam kemiskinan, namun gagal dalam mengurangi secara berarti jumlah absolute
penduduk yang miskin, karena pertumbuhan penduduk yang pesat.
Di samping tidak tercapainya pengurangan secara
berarti dari kemiskinan, penganguran serta setengah penganguran, maka
pertumbuhan ekonomi yang pesat di banyak Negara berkembang juga disertai oleh
ketimpangan yang semakin meningkat dalam pembagian pendapatan (ketimpangan
relatif) hal tersebut memang tidak mengherankan bagi ahli lain ekonomi.
Misalnya Kuznets mengemukakan bahwa dalam masa pertumbuhan ekonomi selalu ada
ketimpangan redistribusi pendapatan, dimana dalam pertumbuhan ekonomi yang
cepat, golongan berpenghasilan rendah selalu ketinggalan kemajuan, tidak mampu
mengikuti berpartisipasi. Karenanya mereka tidak mampu memanpaatkan proses
redistribusi pendapatannya.
Di Indonesia pola perkembangan pembangunan juga mengikuti
pendapatan yang dikemukakan Kuznets, artinya golongan miskin kurang terjamah
oleh hasil-hasil pertumbuhan ekonomi. Mengapa mereka tidak terangkat, padahal
pemerintah telah mengambil kebijaksanaan penyebaran proyek-proyek ke
daerah-daerah, desa-desa, misalnya adanya kredit bimas, KIK, KMKP, KCK, padat
karya dan sebagainya.
Bila diteliti golongan-golongan miskin yang tidak
terjamah oleh hasil-hasil pembangunan, karena :
a) Ketimpangan dalam peningkatan pendidikan.
Selama belum ada kewajiban belajar golongan miskin
tida akan mampu berpartisipasi mengenyam peningkatan anggaran pendidikan.
b) Ketidakmerataan kemampuan untuk berpartisipasi. Untuk berpartisipasi diperlukan tingkat
pendidikan, ketrampilan, relasi, dan sebagainya. Golongan miskin tidak
memilikinya.
c) Ketidakmerataan pemilikan alat-alat produksi. Golongan miskin tidak memiliki alat-alat
produksi, penghasilannya untuk makan saja sudah susah, sehingga tidak mungkin membentuk
modal.
d) Ketidakmerataan kesempatan terhadap modal dan kredit yang ada. Modal dan kredit pemberiannya
menghendaki syarat-syarat tertentu dan golongan miskin tidak mungkin memenuhi
persyaratanya.
e) Ketidamerataan menduduki jabatan-jabatan. Untuk mendapat pekerjaan yang dapat memberi makan
pada keluarga saja sudah susah, apalagi menduduki jabatan-jabatan yang sering
memerlukan relasi tertentu dan persyaratan tertentu.
f) Ketidamerataan mempengaruhi pasaran. Karena miskin dan pendidikannya rendah, maka tidak
mungkin golongan niskin dapat mempengaruhi pasaran.
g) Ketidamerataan kemampuan menghindari musibah misalnya penyakit, kecelakaan, dan
ketidaberuntungan lainnya. Bagi golongan miskin dibutuhkan bantuan untuk dapat
mengatasi musibah tersebut. Mengharapkan dari mereka sendiri untuk dapat
mengangkat dirinya tanpa pertolongan, sukar dipastikan.
h) Laju pertambahan penduduk lebih memberatkan golongan miskin. Dengan jumlah keluarga
besar, mereka sulit dapat menyekolahkan, member makan, dan pakayan secukupnya.
Hanya keluarga yang kaya atau berpenghasilan besar sajalah yang mampu.
Dapatlah dipastikan bahwa golongan berpenghasilan
rendah, karena kurang terjamah pendidikan, tidak memiliki sarana-sarana
misalnya kredit, modal, alat-alat produksi, relasi dan sebagainya, tidak akan
mampu berpartisifasi dalam pertumbuhan ekonomi dan menikmati pembagian
hasil-hasilnya tanpa adanya kebijaksanaan khusus yang ditujukan untuk
mengangkat mereka.
Penelitian yang diadakan di daerah perkotaan di jawa,
sundrum telah menemukan bahwa selama tahun 1970 sampai tahun 1976 ternyata
pembagian pendapatan memburuk, terutama di ibukota Jakarta. Dari hasil survei
Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukan bahwa selama kurun waktu 1970
sampai 1976 persentase penduduk Indonesia yang miskin yaitu hidup di bawah
tingkat kemiskinan telah berkurang. Hal tersebut berlaku baik bagi Indonesia
sebagai keseluruhan, maupun jika diadakan perincian menurut daerah pedesaan dan
daerah perkotaan, baik di jawa maupun di luar jawa. Tingkat hidup absolute
semua golongan masyarakat telah meningkat, sehingga kemiskinan absolute di
Indonesia selama Repelita 1 dan tahun-tahun pertama Repelita 11 telah
berkurang. Perhitungan berbagai peneliti dapat disimpulkan bahwa persentase
penduduk Indonesia yang miskin telah menurun dari hamper 60% dalam tahun 1970
sampai kurang lebih 45% dalam tahun 1976.
Di lain pihak hasil-hasil SUSENAS telah
memperlihatkan, bahwa pembagian pendapatan selama kurun waktu yang sama telah
memburuk. Hal tersebut disebabkan karena laju kenaikan pendapatan golongan yang
berpendapatan tinggi telah meningkat jauh lebih pesat daripada penaikan
golongan yang berpendapatan rendah.
Di samping perkembangan tersebut, maka pembagian
pendapatan antara penduduk daerah perkotaan dan daerah pedesaan juga telah
memburuk. Hal tersebut disebabkan karena laju kenaikan pendapatan penduduk
perkotaan selama kurun waktu 1970 sampai 1976 rata-rata bertambah dua setengah
kali lebih cepat dari pada penduduk pedesaan.
Juka dirinci menurut daerah maka ketimpangan antara
pendapatan penduduk perkotaan dan pedesaan di jawa lebih besar daripada di luar
jawa.
Usaha mengatasi kemiskinan
Dari kegagalan kebijaksanaan konversional mengenai
pertumbuhan ekonomi di banyak Negara berkembang dalam mengurangi kemiskinan,
pengangguran dan disparitas ( ketimpangan) pendapatan secara berarti telah
memaksa baik para perencana ekonomi dan teknokrat maupun para peneliti ekonomi
untuk kembali mempelajari secara sungguh-sungguh kebijaksanaan tersebut, serta
mendorong mereka untuk mempelajari alternative-alternatif yang realities bagi
kebijaksanaan pertumbuhan ekonomi yan konvensional. Dalam hal ini; pendekatan
kebutuhan dasar dalam perencanaan pembangunan merupakan hasil yang logis dari
sesuatu proses reorientasi yang panjang dalam pemikiran tentang pembangunan.
Dari hasil-hasil penelitian kemudian pusat perhatian
para ahli lambat laun mulai bergeser dari tekanan pada penciptaan lapangan
kerja yang memadai ke penghapusan kemiskinan, dan akhirnya ke penyediaan
barang-barang dan jasa-jasa kebutuhandasar bagi seluruh penduduk, yang berupa
dua perangkat, yaitu :
a) Perangkat kebutuhan konsumsi perorangan akan pangan, sandang dan pemukiman.
b) Perangkat yang mencakup penyediaan jasa umum dasar, seperti fasilitas kesehatan,
pendidikan, saluran air minum, pengangkutan, dan kebudayaan.
Di samping kedua perangkat tersebut, kebutuhan dasar
atau kebutuhan dasar manusiawi kadang-kadang juga digunakan untuk mencakup tiga
sasaran lain, yaitu:
1) Hak atas pekerjaan produktif dan yang memberikan imbalan yang layak, sehingga cukup
untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap rumah tangga atau perorangan.
2) Prasarana yang mampu menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa dibutuhkan untuk memenuhi
kebutuhan dasar penduduk.
3) Partisipasi seluruh penduduk, baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan
proyek-proyek yang berhubungan dengan penyediaan barang-barang dan jasa-jasa
kebutuhan dasar.
Pengalaman dari Negara-negara Asia Timur,yaitu korea,
Taiwan, jepang menunjukan bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat dengan disertai
pemerataan hasil-hasil pembangunan dapat tercapai karena di Negara-negara
tersebut program pembangunan pedesaan (rural development program) sangat
diutamakan.
Sumber :
http://www.wasiclub.id/2016/04/teknologi-dan-kemiskinan.html
Agama & Masyarakat
Agama di Indonesia
Indonesia adalah negara demokratis
yang sekular mayoritas pemeluk agama Islam. Konstitusi Indonesia
menjamin kebebasan beragama kepada semua orang, masing-masing menurut
agama atau keyakinan sendiri. Konstitusi ini juga menetapkan bahwa
negara Indonesia harus didasarkan pada keyakinan kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa (kondisi tersebut juga merupakan prinsip pertama Pancasila,
yaitu filosofi negara Indonesia yang dibeberkan presiden Soekarno pada
tahun 1945).
Kedua kondisi ini tampaknya agak kontradiktif, namun Soekarno
memecahkan permasalahan ini dengan hipotesa bahwa setiap agama
(termasuk Hindu) pada dasarnya mempunyai satu Ketuhanan tertinggi.
Meskipun Indonesia bukan negara Islam,
namun prinsip-prinsip Islam memang mempengaruhi kebijakan politik.
Selain itu, kelompok-kelompok Muslim radikal tertentu terbukti
kadang-kadang mempengaruhi kebijakan politik dan yudisial dengan ancaman
kekerasan.
Sebuah keganjilan dari sikap pemerintah
Indonesia terhadap kebebasan agama di dalam negara ini adalah bahwa
pemerintah mengakui hanya enam agama saja (yaitu Islam, Protestantisme,
Katolisisme, Hinduisme, Buddhisme dan Konghucu). Setiap orang Indonesia
wajib untuk merangkul salah satu agama tersebut yang merupakan data
pribadi yang disebutkan di dalam dokumen resmi seperti paspor dan kartu
identitas lain.
Ateisme tidak merupakan suatu pilihan.
Bahkan ateisme merupakan sebuah filsafat yang secara umum tidak diterima
oleh masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini pernah terjadinya
kasus orang Indonesia mengumumkan pandangan ateisme di media sosial yang
kemudian berujung pada ancaman dari masyarakat setempat dan penangkapan
oleh polisi atas dasar penghinaan Tuhan.
Komposisi Agama di Indonesia Persentase (dari populasi total) |
Angka Absolut (juta) |
|
Muslim | 87.2 | 207.2 |
Kristen | 6.9 | 16.5 |
Katolik | 2.9 | 6.9 |
Hindu | 1.7 | 4.0 |
Buddha | 0.7 | 1.7 |
Konghucu | 0.05 | 0.1 |
Perlu ditekankan bahwa para pengikut
keenam agama yang disebutkan di atas tidak merupakan kelompok yang
koheren. Misalnya, ada banyak orang Muslim di Indonesia yang strik maka
mereka terfokus pada masjid, Al-Quran dan ritual Islam, maka Islam
memainkan peran penting dalam kegiatan sehari-hari dan kehidupan mereka.
Namun, ada juga banyak orang Muslim moderat di Indonesia yang tergolong
Muslim sesuai dengan kartu identitas mereka dan/atau latar belakang
Muslim keluarga mereka, tetapi yang jarang bersholat, jarang mengunjungi
masjid, dan jarang membaca Al-Quran. Perbedaan yang sama dapat
ditemukan dalam keenam agama yang lain.
Meskipun tidak diakui oleh pemerintah
masih tetap ada juga animisme di beberapa wilayah Indonesia. Berbagai
varietas animisme sudah dipraktekkan di wilayah ini sebelum kedatangan
agama Hindu (agama Hindu ini tiba di Nusantara melalui jaringan
perdagangan yang membentang dari Cina ke India pada abad pertama setelah
Masehi). Namun, selama berabad-abad aliran animisme ini telah bercampur
dengan agama-agama monoteistik utama (dan Islam Sufi), yang
mengakibatkan adanya beberapa keyakinan lokal tertentu seperti Kejawen
di Jawa dan Kaharingan di Kalimantan (dianut oleh orang Dayak). Dalam
rangka memenuhi Pancasila (yang menetapkan "keyakinan kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa"), penganut animisme cenderung diklasifikasikan sebagai
umat Hindu karena agama ini lebih fleksibel untuk menyerap aliran ini.
Agama & Kekerasan
Sepanjang sejarahnya, agama juga
merupakan penyebab banyaknya kekerasan di Indonesia. Mengenai sejarah
masa kini, terdapat satu titik balik yang penting. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru presiden Suharto
(yang dicirikan oleh pemerintah pusat yang kuat dan masyarakat sipil
yang lemah) suara Islam yang radikal dan tindakan kekerasan (aksi
teroris) - yang sebelumnya sebagian besar ditekan pemerintah - sempat
muncul ke permukaan dalam bentuk serangan bom serta ancaman lain.
Di era Reformasi
berbagai media Indonesia pernah memberitakan soal kekerasan antar
agama, misalnya kelompok Muslim yang radikal terhadap kelompok agama
minoritas seperti para Ahmadiyya dan Kristen. Apalagi, para pelaku dan
pemicu kekerasan tersebut biasanya dijatuhkan hukuman penjara yang
ringan. Hal tersebut telah mendapatkan perhatian internasional dan
sejumlah pemerintah, organisasi serta media menyatakan keprihatinan atas
penjaminan kebebasan agama di Indonesia.
Akan tetapi - betapa pun ngerinya -
serangan tersebut adalah pengecualian, dan harus ditekankan bahwa
mayoritas masyarakat Muslim di Indonesia sangat mendukung masyarakat
yang pluralis dan damai jika menyangkut hal agama.
Sebagai penutup, perlu ditekankan juga bahwa intoleransi dan
diskriminasi agama datang dalam bentuk non-kerasan misalnya kesulitan
untuk membangun tempat ibadah untuk umat non-Muslim di daerah yang
ditempati mayoritas Muslim (dan vise versa). Namun, setiap minoritas di
setiap negara kemungkinan besar akan dihadapkan dengan tindakan
diskriminatif. Indonesia bukan pengecualian dalam hal ini.
Islam di Indonesia
Mayoritas masyarakat Indonesia menganut
agama Islam. Tetapi ini tidak berarti bahwa umat Islam itu merupakan
umat yang koheren. Karena daerah-daerah di Indonesia mempunyai sejarah
sendiri-sendiri, diwarnai oleh pengaruh yang berbeda, keadaan
aliran-aliran Islam yang kini ada berbeda juga. Meskipun sebuah proses
PAN-Islamisasi sudah mulai sejak beberapa abad yang lalu, Indonesia
tidak kehilangan keragaman dalam varietas Islam.
Saat ini ada lebih dari 207 juta orang
muslim yang tinggal di Indonesia, sebagian besar muslim sunni.
Perdagangan memainkan peran penting dalam proses Islamisasi Indonesia.
Namun, ini bukan proses cepat dan mudah dan kadang-kadang dipaksa oleh
kekuatan pedang. Proses Islamisasi Indonesia terjadi dalam serangkaian
gelombang yang melibatkan perdagangan global, pendirian berbagai
kesultanan muslim yang berpengaruh, dan gerakan sosial.
Kristen & Katolik di Indonesia
Salah satu contoh dampak dari pengaruh
berkelanjutan Eropa dan pemerintahan kolonial Belanda pada masyarakat
Indonesia adalah adanya rata-rata 23 juta orang Kristen serta Katolik
yang saat ini tinggal di Indonesia. Agama Kristen merupakan agama
terbesar kedua dan agama Katolik terbesar ketiga, namun dua-duanya
relatif kecil dibanding Islam. Agama Kristen di Indonesia lebih dikenal
sebagai Protestantisme di dunia Barat. Penganut agama Kristen dan
Katolik kebanyakan ditemukan di Indonesia bagian timur.
Meskipun telah terjadi beberapa insiden
kekerasan antara kaum Muslim dan Kristen (yang paling terkenal yaitu
konflik Muslim-Kristen di Maluku pada tahun 1999-2002) serta penutupan
paksa beberapa gereja, penyembah kedua agama ini umumnya hidup dalam
harmoni sosial. Terlepas dari gereja Kristen dan Katolik yang
tradisional, gerakan karismatik (yang - seperti Pentakosta - menempatkan
penekanan pada karunia Roh Kudus) bertumbuh pesat di kota-kota besar di
Indonesia.
Hinduisme di Indonesia
Agama Hindu mempunyai sejarah yang
paling panjang di Indonesia dibanding dengan agama resmi lain. Namun,
sebagian besar masa lalu agama Hindu ini dilenyapkan di banyak pulau
karena penaklukan atau 'dimakan waktu'. Hanya pulau Bali yang dari dulu
sangat populer di kalangan wisatawan merupakan pengecualian yang nyata.
Hingga kini mayoritas penduduk pulau ini menganut agama Hindu Bali,
salah satu alasan turis dari seluruh dunia datang ke pulau ini.
Sebelum agama Hindu dan Buddha tiba di
Nusantara, penduduk pribumi mempraktekkan aliran-aliran animisme. Namun,
waktu agama Hindu tiba di bagian barat Nusantara melalui jaringan
perdagangan yang membentang dari Cina ke India pada abad pertama Masehi,
penguasa lokal menganggap agama baru ini sebagai alat yang bisa bantu
untuk meningkatkan kekuasaan mereka. Dengan menggambarkan diri sebagai
dewa Hindu, mereka berhasil menumbuhkan status mereka.
http://www.indonesia-investments.com/id/budaya/agama/item69
Masyarakat Desa & Kota
Perbedaan Perilaku Masyarakat Desa dan Kota Dalam Menyikapi Perubahan Sosial Budaya Di Era Global
Berikut ini merupakan pembahasan tentang Perbedaan Perilaku Masyarakat
Desa dan Kota Dalam Menyikapi Perubahan Sosial Budaya Di Era Global
Masyarakat statis adalah masyarakat yang lambat dalam berkembang. Adapun masyarakat tradisional yaitu masyarakat yang memegang teguh adat-istiadat dan kepercayaan yang turun-temurun.
Masyarakat desa enggan menerima masuknya unsur-unsur budaya asing sehingga sulit untuk menerima perubahan-perubahan.
Di Indonesia masyarakat yang demikian masih cukup banyak jumlahnya di desa-desa, khususnya suku terasing di pedalaman Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua.
Masyarakat kota tergolong masyarakat modern, sehingga lebih mudah menerima perubahan sosial budaya. Masyarakat kota lebih mengenal hukum negara daripada hukum adat atau tradisi.
Pelaksanaan hukum adat di kota hampir tidak berlaku, apabila ada yang melaksanakan itupun pada lingkungan terbatas.
Pelaksanaan hukum adat di kota semakin berkurang karena masyarakat kota mempunyai cara berpikir yang ilmiah dan rasional. Keanekaragaman tradisi adat-istiadat warganya juga bisa menjadi alasan tersebut.
1. Perilaku Masyarakat Desa Dalam Menyikapi Perubahan Sosial Budaya
Masyarakat desa adalah masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah yang jauh dari keramaian, bersifat homogen dan sebagian besar bekerja di sektor agraris. Masyarakat desa tergolong dalam masyarakat statis dan tradisional.Masyarakat statis adalah masyarakat yang lambat dalam berkembang. Adapun masyarakat tradisional yaitu masyarakat yang memegang teguh adat-istiadat dan kepercayaan yang turun-temurun.
Masyarakat desa enggan menerima masuknya unsur-unsur budaya asing sehingga sulit untuk menerima perubahan-perubahan.
Di Indonesia masyarakat yang demikian masih cukup banyak jumlahnya di desa-desa, khususnya suku terasing di pedalaman Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua.
2. Perilaku Masyarakat Kota Dalam Menyikapi Perubahan Sosial Budaya
Kota dapat diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan pelapisan sosial ekonomi yang heterogen serta masyarakatnya yang individualistis dan materialistis. Masyarakat kota adalah masyarakat yang bertempat tinggal di perkotaan.Masyarakat kota tergolong masyarakat modern, sehingga lebih mudah menerima perubahan sosial budaya. Masyarakat kota lebih mengenal hukum negara daripada hukum adat atau tradisi.
Pelaksanaan hukum adat di kota hampir tidak berlaku, apabila ada yang melaksanakan itupun pada lingkungan terbatas.
Pelaksanaan hukum adat di kota semakin berkurang karena masyarakat kota mempunyai cara berpikir yang ilmiah dan rasional. Keanekaragaman tradisi adat-istiadat warganya juga bisa menjadi alasan tersebut.
Perbedaan Perilaku Masyarakat Desa dan Kota dalam Menyikapi Perubahan Sosial
Kondisi desa dan kota yang berbeda sangat berpengaruh pada perubahan sosial budaya masyarakatnya.Masyarakat kota yang memiliki tingkat budaya yang tinggi, daya kreativitas yang baik dan dinamika kehidupan yang kompleks akan lebih mudah mengalami perubahan dan pembaruan.
Sebaliknya masyarakat desa yang homogen menyebabkan dinamika kehidupan lebih lamban sehingga perubahan sosial budaya pun berjalan sangat lambat.
Lalu bagaimana masyarakat desa dan masyarakat kota menyikapi perubahan? Dalam menyikapi perubahan sosial budaya, ada perbedaan antara masyarakat desa dengan masyarakat kota.
Pada masyarakat desa dalam menghadapi perubahan pada umumnya bersikap tertutup, was-was (apatis) dan acuh tak acuh.
Sikap was-was, curiga dan menutup diri dari segala pengaruh perubahan sosial budaya umumnya dilakukan oleh masyarakat desa yang telah merasa nyaman dengan kondisi kehidupan masyarakat yang ada.
Adapun sikap acuh tak acuh umumnya ditunjukkan oleh masyarakat desa yang kurang memahami manfaat dan arti strategis perubahan sosial budaya bagi kehidupannya, sehingga perubahan terjadi sangat lambat.
Sebaliknya pada masyarakat kota dalam menghadapi perubahan sosial budaya lebih bersikap terbuka (open minded), antisipatif dan selektif.
Sikap terbuka merupakan langkah pertama dalam upaya menerima pengaruh perubahan sosial budaya, karena sikap terbuka tersebut akan membuat masyarakat kota lebih dinamis, tidak terbelenggu pada hal-hal yang bersifat tradisi dan kolot sehingga masyarakat kota lebih mudah menerima perubahan.
Selain itu sikap antisipatif dan selektif ditunjukkan masyarakat kota dalam menilai hal-hal yang akan atau sedang terjadi kaitannya dengan pengaruh perubahan sosial budaya tersebut bagi kehidupannya. Sikap-sikap tersebut yang memengaruhi perubahan sosial budaya di masyarakat kota berjalan cepat.
Sumber:
http://www.gurupendidikan.net/2016/01/Perbedaan-Perilaku-masyarakat-Desa-dan-Kota-Dalam-Menyikapi-Perubahan-Sosial-Budaya-Di-Era-Global.html
Sosialisasi Generasi Muda
Sosialisasi Permasalahan Generasi Muda
Berbagai permasalahan generasi yang muncul pada saat ini antara lain :
- Menurunnya jiwa idealisme, patriotisme, dan nasionalisme dikalangan masyarakat, termasuk jiwa pemuda.
- Kekurangpastian yang dialami oleh generasi muda terhadap masa depannya.
- Belum seimbangnya antara jumlah generasi muda dengan fasilitas pendidikan yang tersedia, baik formal dan informal. Tinggimya jumlah putus sekolah yang tidak hanya merugikan generasi muda sendiri, tetapi juga merugikan bangsa.
- Kekurangan lapangan dan kesempatan kerja serta tingginya tingkat pengangguran dan setengah pengangguran dikalangan generasi muda mengakibatkan berkurangnya produktivitas nasional dan memperlambat kecepatan laju perkembangan pembangunan nasional serta dapat menimbulkan berbagai problem sosial lainnya.
- Kurangnya gizi yang menghambat perkembangan kecerdasan, dan pertumbuhan.
- Masih banyaknya perkawinan dibawah umur.
- Pergaulan bebas yang membahayakan sendi-sendi moral bangsa.
- Merebaknya penggunaan NAPZA dikalangan remaja.
- Belum adanya peraturanm perundangan yang menyangkut generasi muda.
2. Potensi-potensi Generasi Muda
Potensi-potensi yang terdapat pada generasi muda yang perlu dikembangkan adalah sebagai berikut :
a. Idealisme dan Daya Kritis
Secara sosiologis generasi muda
belum mapan dalam tatanan yang ada, sehingga ia dapat melihat kekurangan
dalam tatanan dan secara wajar mampu mencari gagasan baru.
Pengejawantahan idealisme dan daya kritis perlu dilengkapi landasan rasa
tanggung jawab yang seimbang.
b. Dinamika dan Kreativitas
Adanya idealisme pada generasi
muda, menyebabkan mereka memiliki potensi kedinamisan dan kreativitas,
yakni kemampaun dan kesediaan untuk mengadakan perubahan, pembaharuan,
dan penyempurnaan kekurangan yang ada ataupun mengemukakan gagasan yang
baru.
c. Keberanian Mengambil Resiko
Perubahan dan pembaharuan
termasuk pembangunan, mengandung resiko dapat meleset, terhambat atau
gagal. Namun, mengambil resiko itu diperlukan jika ingin memperoleh
kemajuan. Generasi muda dapat dilibatkan pada usaha-usaha yang
mengandung resiko. Untuk itu diperlukan kesiapan pengetahuan,
perhitungan, dan keterampilan dari generasi muda sehingga mampu memberi
kualitas yang baik untuk berani mengambil resiko.
d. Optimis dan Kegairahan Semangat
Kegagalan tidak menyebabkan
generasi muda patah semangat. Optimisme dan kegairahan semangat yang
dimiliki generasi muda merupakan daya pendorong untuk mencoba lebih maju
lagi.
e. Sikap Kemandirian dan Disiplin Murni
Generasi muda memiliki keinginan
untuk selalu mandiri dalam sikap dan tindakannya. Sikap kemandirian itu
perlu dilengkapi dengan kesadaran disiplin murni pada dirinya agar
mereka dapat menyadari batas-batas yang wajar dan memiliki tenggang
rasa.
f. Terdidik
Walaupun dengan memperhitungkan
faktor putus sekolah, secara menyeluruh baik dalam arti kualitatif
maupun dalam arti kuantitatif, generasi muda secara relatif lebih
terpeljar karena lebih terbukanya kesempatan belajar dari generasi
pendahulunya.
g. Keanekaragaman dalam Persatuan dan Kesatuan.
Keanekaragaman generasi muda
merupakan cermin dari keanekaragaman masyarakat kita. Keanekaragaman
tersebut dapat menjadi hambatan jika dihayati secara sempit dan
eksklusif. Akan tetapi, keanekaragaman masyarakat Indonesia merupakan
potensi dinamis dan kreatif jika ditempatka dalam kerangka integrasi
nasional yang didasarkan pada semangat sumpah pemuda serta kesamaan
semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
h. Patriotisme dan Nasionalisme
Pemupukan rasa kebanggaan,
kecintaan, dan turut serta memiliki bangsa dan negara dikalangan
generasi muda perlu digalakkan karena pada gilirannya akan mempertebal
semangat pengabdian dan kesiapan mereka untuk membela dan mempertahankan
NKRI dari segala bentuk ancaman. Dengan tekad dan semangat ini,
generasi muda perlu dilibatkan dalam setiap usaha dan pemantapan
ketahanan dan pertahanan nasional.
i. Sikap Kesatria
Kemurnian idealisme, keberanian,
semangat pengabdian dan pengorbanan serta rasa tanggung jawab sosial
yang tinngi adalah unsur-unsur yang perlu dipupuk dan dikembangkan
dikalangan generasi muda Indonesia sebagai pembela dan penegak kebenaran
dan keadilan bagi masyarakat dan bangsa.
j. Kemampuan Penguasaan Ilmu dan Teknologi
Generasi muda dapat berperan
secara berdaya guna dalam rangka pengembangan ilmu dan teknologi bila
secara fungsional dapat dikembangkan sebagai Transformator dan
Dinamisator terhadap lingkungannya yang lebih terbelakang dalam ilmu dan
pendidilkan serta penerapan teknologi, baik yang maju, maupun yang
sederhana.
Sumber :
http://soaseo.blogspot.co.id/2012/01/pemuda-dan-sosialisasi.html
Etnosentrisme
Etnosentrisme,
Pentingkah?
Oleh : Dio Satrio Jati
Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat,
terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai
daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang
kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi
bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di
Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di
dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai
dinamika kebudayaan di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa
terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai
perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung
untuk merndahkan kelompok lainya?
Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu
cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia
selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama
manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal
manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang
tidak.
Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu
dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja.
Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah
berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling
komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan,
pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial
adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial.
Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka
membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial
mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat
terjadinya kelompok sosial meliputi :
1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok
yang bersangkutan
Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota
dalam suatu kelompok
Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar
mereka bertambah erat
Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial
adalah :
1.Tujuan yang sama
2.Nasib yang sama
3.Kepentingan yang sama
4.Ideologi politik yang sama
5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi
pengikat.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan
salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat
terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan
tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di
dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu
budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring
kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah
pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau
belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial
sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya
yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok
sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak
pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan
pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian,
tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat
sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila
persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna
menciptakan integrasi bangsa secara nasional.
Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling
bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan
cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling
bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur
yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang
ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada.
Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling
berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang
memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta
menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan
dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau
hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang
budayanya[3].
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang
bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial
lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel.
Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian
terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering
disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok
sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung
sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang
karakteristisnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d2
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d2
ai daerah di Indonesia
dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat
berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bag
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme, Pentingkah?
Oleh : Dio Satrio Jati
Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat,
terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai
daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang
kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi
bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di
Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di
dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai
dinamika kebudayaan di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa
terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai
perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung
untuk merndahkan kelompok lainya?
Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu
cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia
selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama
manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal
manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang
tidak.
Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu
dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja.
Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah
berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling
komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan,
pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial
adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial.
Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka
membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial
mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat
terjadinya kelompok sosial meliputi :
1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok
yang bersangkutan
Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota
dalam suatu kelompok
Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar
mereka bertambah erat
Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial
adalah :
1.Tujuan yang sama
2.Nasib yang sama
3.Kepentingan yang sama
4.Ideologi politik yang sama
5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi
pengikat.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan
salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat
terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan
tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di
dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu
budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring
kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah
pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau
belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial
sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya
yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok
sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak
pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan
pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian,
tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat
sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila
persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna
menciptakan integrasi bangsa secara nasional.
Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling
bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan
cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling
bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur
yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang
ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada.
Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling
berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang
memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta
menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan
dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau
hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang
budayanya[3].
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang
bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial
lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel.
Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian
terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering
disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok
sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung
sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang
karakteristisnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme,
Pentingkah?
Oleh : Dio Satrio Jati
Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat,
terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai
daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang
kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi
bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di
Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di
dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai
dinamika kebudayaan di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa
terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai
perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung
untuk merndahkan kelompok lainya?
Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu
cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia
selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama
manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal
manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang
tidak.
Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu
dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja.
Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah
berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling
komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan,
pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial
adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial.
Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka
membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial
mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat
terjadinya kelompok sosial meliputi :
1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok
yang bersangkutan
Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota
dalam suatu kelompok
Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar
mereka bertambah erat
Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial
adalah :
1.Tujuan yang sama
2.Nasib yang sama
3.Kepentingan yang sama
4.Ideologi politik yang sama
5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi
pengikat.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan
salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat
terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan
tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di
dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu
budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring
kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah
pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau
belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial
sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya
yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok
sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak
pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan
pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian,
tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat
sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila
persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna
menciptakan integrasi bangsa secara nasional.
Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling
bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan
cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling
bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur
yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang
ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada.
Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling
berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang
memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta
menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan
dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau
hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang
budayanya[3].
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang
bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial
lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel.
Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian
terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering
disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok
sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung
sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang
karakteristisnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme,
Pentingkah?
Oleh : Dio Satrio Jati
Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat,
terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai
daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang
kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi
bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di
Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di
dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai
dinamika kebudayaan di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa
terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai
perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung
untuk merndahkan kelompok lainya?
Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu
cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia
selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama
manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal
manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang
tidak.
Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu
dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja.
Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah
berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling
komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan,
pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial
adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial.
Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka
membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial
mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat
terjadinya kelompok sosial meliputi :
1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok
yang bersangkutan
Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota
dalam suatu kelompok
Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar
mereka bertambah erat
Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial
adalah :
1.Tujuan yang sama
2.Nasib yang sama
3.Kepentingan yang sama
4.Ideologi politik yang sama
5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi
pengikat.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan
salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat
terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan
tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di
dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu
budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring
kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah
pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau
belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial
sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya
yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok
sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak
pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan
pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian,
tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat
sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila
persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna
menciptakan integrasi bangsa secara nasional.
Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling
bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan
cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling
bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur
yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang
ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada.
Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling
berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang
memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta
menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan
dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau
hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang
budayanya[3].
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang
bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial
lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel.
Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian
terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering
disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok
sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung
sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang
karakteristisnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme,
Pentingkah?
Oleh : Dio Satrio Jati
Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat,
terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai
daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang
kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi
bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di
Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di
dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai
dinamika kebudayaan di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa
terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai
perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung
untuk merndahkan kelompok lainya?
Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu
cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia
selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama
manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal
manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang
tidak.
Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu
dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja.
Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah
berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling
komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan,
pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial
adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial.
Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka
membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial
mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat
terjadinya kelompok sosial meliputi :
1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok
yang bersangkutan
Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota
dalam suatu kelompok
Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar
mereka bertambah erat
Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial
adalah :
1.Tujuan yang sama
2.Nasib yang sama
3.Kepentingan yang sama
4.Ideologi politik yang sama
5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi
pengikat.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan
salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat
terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan
tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di
dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu
budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring
kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah
pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau
belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial
sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya
yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok
sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak
pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan
pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian,
tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat
sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila
persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna
menciptakan integrasi bangsa secara nasional.
Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling
bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan
cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling
bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur
yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang
ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada.
Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling
berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang
memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta
menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan
dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau
hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang
budayanya[3].
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang
bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial
lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel.
Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian
terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering
disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok
sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung
sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang
karakteristisnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
ai daerah di Indonesia
dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat
berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bag
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d2
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d2
PENGERTIAN ETNOSENTRISME
Etnosentrisme merupakan suatu persepsi yang dimiliki oleh tiap-tiap
individu yang menganggap budayanya merupakan yang terbaik dari
budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain. Etnosentrisme tersebut
dapat juga diartikan sebagai fanatisme suku bangsa.
Segi positif Etnosentrisme diantaranya ialah
- menjaga kestabilan serta keutuhan budaya,
- dapat mempertinggi semangat patriotisme dan juga kesetiaan kepada bangsa,
- dapat memperteguh rasa cinta terhadap kebudayaan / bangsa.
Penyebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia:
Budaya Politik
Faktor yang mendasar yang menjadi penyebab akan munculnya etnosentrisme
ini adalah budaya politik dari masyarakat yang cenderung tradisional
serta tidak rasionalis. Budaya politik masyarakat tersebut kita masih
tergolong budaya politik subjektif Ikatan emosional serta ikatan-ikatan
primordial yang masih cenderung menguasai masyarakat yang ada di
Indonesia . Masyarakat terlibat didalam dunia politik yaitu kepentingan
mereka yang sangat mementingkan suku, etnis, agama dll.
Pluralitas Bangsa Indonesia
faktor yang lain , penyebab munculnya masalah etnosentrisme ialah
pluralitas Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri
dari berbagai suku, agama, ras serta golongan. Pluralitas masyarakat
Indonesia tersebut tentu melahirkan berbagai persoalan. Pada tiap-tiap
suku, agama, ras serta golongan berusaha untuk dapat memperoleh
kekuasaan serta juga menguasai yang lain.Masalah kepentingan inilah yang
faktor yang banyak memunculkan persoalan-persoalan pada tiap-tiap
daerah.
Dampak Positif dan Negatif dari Etnosentrisme
Dampak positif dari etnosentrisme adalah
- dapat mempertinggi semangat patriotisme,
- menjaga keutuhan serta juga stabilitas kebudayaan,
- mempertinggi rasa cinta kepada bangsa sendiri.
Sikap etnosentrisme adalah sikap tolak ukur budaya seseorang dengan budayanya .
Dampak Negatif dari etnosentrisme adalah,
- Dapat menyebabkan konflik antar suku.
- Adanya alirannya politik.
- Menghambat proses asimilasi budaya yang berbeda.
Definisi Primordialisme, Etnosentrisme, dan Politik Aliran
Primordialisme
Istilah Primordialisme tersebut berasal dari bahasa latin yakni Primus yang memiliki arti pertama, serta Ordiri yang memiliki arti tenunan /ikatan.
Jadi , Primordial bisa diartikan sebagai ikatan-ikatan utama seseorang
didalam kehidupan sosialnya, dengan adanya hal-hal yang dibawanya sejak
lahir seperti, suku , ras, klan, asal-usul kedaerahan, serta agama.
Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan suatu sikap dalam menilai kebudayaan masyarakat
lain dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku pada masyarakatnya.
Politik Aliran
Politik Aliran / Sektarian adalah suatu keadaan yang mana sebuah
kelompok / organisasi tertentu dikelilingi oleh organisasi massa baik
formal ataupun informal. Tali pengikat kelompok / organisasi massa ini
merupakan ideologi/aliran sekte tertentu.
Sumber :
http://www.pendidikanku.org/2016/07/pengertian-etnosentrisme-dan-dampaknya.html
Pelapisan Sosial
Pengertian Pelapisan Sosial
Kata stratification berasal dari kata stratum, jamaknya strata yang berarti lapisan. Menurut Pitirim A. Sorokin, pelapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis. Hal tersebut dapat kita ketahui adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah dalam masyarakat.
Menurut P.J. Bouman, pelapisan sosial adalah golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu.Oleh karena itu, mereka menuntut gengsi kemasyarakatan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kehidupan anggota masyarakatyang berada di kelas tinggi. Seseorang yang berada di kelas tinggi mempunyai hak-hak istimewa dibanding yang berada di kelas rendah.
Pelapisan sosial merupakan gejala yang bersifat universal. Kapan pun dan di dalam masyarakat mana pun, pelapisan sosial selalu ada. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyebut bahwa selama dalam masyarakat ada sesuatuyang dihargai, maka dengan sendirinya pelapisan sosial terjadi. Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat bisa berupa harta kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kekuasaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelapisan sosial adalah pembedaan antar warga dalam masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial secara bertingkat. Wujudnya adalah terdapat lapisan-lapisan di dalam masyarakat diantaranya ada kelas sosial tinggi, sedang dan rendah.
Pelapisan sosial merupakan perbedaan tinggi dan rendahnya kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompoknya, bila dibandingkan dengan posisi seseorang maupun kelompok lainnya. Dasar tinggi dan rendahnya lapisan sosial seseorang itu disebabkan oleh bermacam-macam perbedaan, seperti kekayaan di bidang ekonomi, nilai-nilai sosial, serta kekuasaan dan wewenang
Aspek Positif dan Negatif dari Sistem Pelapisan Sosial
Sistem pelapisan sosial yang terjadi dalam masyarakat sangatlah mungkin terjadi, karena adanya tingkatan kesenjangan-kesenjangan yang didasari dari beberapa hal misalnya dari segi Ekonomi, ini akan menimbulkan stratifikasi sosial yang sangat mencolok. Masyarakat dan lingkungan sosialnya menjadi elemen yang tak dapat terpisahkan sehingga akan menimbulkan efek-efek tertentu sesuai dengan pola pikir dan lingkungan masyarakt sosial itu sendiri.
Beberapa aspek yang akan timbul akan menimbulkan kesenjangan sosial dan diskriminasi, aspek negatif ini bisa saja terjadi pada daerah-daerah pedesaan, pasalnya pedesaan yang umumnya petani akan senantiasa lebih dikuasai oleh tengkulak-tengkulak yang memainkan harga pasar yang cenderung seringkali merugikan para petani, contohnya para petani daun bakau untuk pembuatan rokok, harga bakau harus ditentukan oleh tengkulak yang sudah bekerja sama dengan produsen rokok yang telah memiliki nama. Tingkatan ekonomi lah yang membuat stratifikasi sosial ini muncul, belum lagi karena jabatan dan tingkat pendidikan.
Aspek lain dari pelapisan sosial ini bisa saja menjadi hal yang menguntugkan bagi sebagian orang, aspek positif ini dapat kita jumpai di berbagai tempat contohnya jika kita seorang pejabat pemerintah kita mungkin akan sedikit lebih mudah dalam urusan birokrasi, karena adanya bantuan orang dalam yang memiliki jabatan. Plapisan sosial di pedesaan mungkin akan menimbulkan hal baik bagi para pencari modal apabila seseorang yang memilik tingkat ekonomi menengah ke atas berpendidikan tinggi juga mempunyai jabatan dapat bekerja sama dengan masyarakat ke bawah untuk saling membantu dengan mendirikan koperasi kecil-kecilan dengan modal yang sudah di danai oleh orang yang mempunyai pengaruh kuat di daerah itu.
Pelapisan sosial pastilah terjadi dimanapun kita berada, namun tergantung dari bagaimana kita menyikapi dan menjaganya agar tidak adanya kecemburuan, kesenjangan, dan diskriminasi sosial pada masyarakat dalam tingkatan apapun, entah menengah ke atas atau ke bawah, semua manusia dengan derajat yang sama, yang membedakan tinggi rendah hanyalah akhlak yang mulia. Jika kita beruntung menjadi seorang yang tinggi di mata sosial, maka jangan menyalahgunakan kedudukan tinggi tersebut, dan jika kita berada dalam tingkatan rendah, maka berusahalah agar hidup kita menjadi bermakna bagi orang lain meski kita hanya orang biasa yang selalu tertindas.
Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Individu-individu yang terdiri dari berbagai latar belakang tentu akan membentuk suatu masyarakat heterogen yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Dengan terjadinya kelompok sosial itu maka terbentuklah suatu pelapisan masyarakat atau masyarakat yang berstrata.
Jika dilihat dari kenyataan, maka Individu dan Masyarakat adalah Komplementer. dibuktikan bahwa:
a) Manusia dipengaruhi oleh masyarakat demi pembentukan pribadinya;
b) Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan bisa menyebabkan perubahan besar masyarakatnya.
Menurut Pitirim A.Sorokin, Bahwa “Pelapisan Masyarakat adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarchis)”.
Sedangkan menurut Theodorson dkk, didalam Dictionary of Sociology, bahwa “Pelapisan Masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang relatif permanent yang terdapat didalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai ke masyarakat) di dalam pembedaan hak, pengaruh, dan kekuasaan. Masyarakat yang berstratifikasi sering dilukiskan sebagai suatu kerucut atau piramida, dimana lapisan bawah adalah paling lebar dan lapisan ini menyempit ke atas.
Sumber :
https://raullycious.wordpress.com/2011/11/22/pengertian-pelapisan-sosial-dan-aspek-aspek-positif-dan-negatif-dari-sistem-pelapisan-sosial/
Kata stratification berasal dari kata stratum, jamaknya strata yang berarti lapisan. Menurut Pitirim A. Sorokin, pelapisan sosial adalah pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau hierarkis. Hal tersebut dapat kita ketahui adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah dalam masyarakat.
Menurut P.J. Bouman, pelapisan sosial adalah golongan manusia yang ditandai dengan suatu cara hidup dalam kesadaran akan beberapa hak istimewa tertentu.Oleh karena itu, mereka menuntut gengsi kemasyarakatan. Hal tersebut dapat dilihat dalam kehidupan anggota masyarakatyang berada di kelas tinggi. Seseorang yang berada di kelas tinggi mempunyai hak-hak istimewa dibanding yang berada di kelas rendah.
Pelapisan sosial merupakan gejala yang bersifat universal. Kapan pun dan di dalam masyarakat mana pun, pelapisan sosial selalu ada. Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi menyebut bahwa selama dalam masyarakat ada sesuatuyang dihargai, maka dengan sendirinya pelapisan sosial terjadi. Sesuatu yang dihargai dalam masyarakat bisa berupa harta kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kekuasaan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelapisan sosial adalah pembedaan antar warga dalam masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial secara bertingkat. Wujudnya adalah terdapat lapisan-lapisan di dalam masyarakat diantaranya ada kelas sosial tinggi, sedang dan rendah.
Pelapisan sosial merupakan perbedaan tinggi dan rendahnya kedudukan atau posisi seseorang dalam kelompoknya, bila dibandingkan dengan posisi seseorang maupun kelompok lainnya. Dasar tinggi dan rendahnya lapisan sosial seseorang itu disebabkan oleh bermacam-macam perbedaan, seperti kekayaan di bidang ekonomi, nilai-nilai sosial, serta kekuasaan dan wewenang
Aspek Positif dan Negatif dari Sistem Pelapisan Sosial
Sistem pelapisan sosial yang terjadi dalam masyarakat sangatlah mungkin terjadi, karena adanya tingkatan kesenjangan-kesenjangan yang didasari dari beberapa hal misalnya dari segi Ekonomi, ini akan menimbulkan stratifikasi sosial yang sangat mencolok. Masyarakat dan lingkungan sosialnya menjadi elemen yang tak dapat terpisahkan sehingga akan menimbulkan efek-efek tertentu sesuai dengan pola pikir dan lingkungan masyarakt sosial itu sendiri.
Beberapa aspek yang akan timbul akan menimbulkan kesenjangan sosial dan diskriminasi, aspek negatif ini bisa saja terjadi pada daerah-daerah pedesaan, pasalnya pedesaan yang umumnya petani akan senantiasa lebih dikuasai oleh tengkulak-tengkulak yang memainkan harga pasar yang cenderung seringkali merugikan para petani, contohnya para petani daun bakau untuk pembuatan rokok, harga bakau harus ditentukan oleh tengkulak yang sudah bekerja sama dengan produsen rokok yang telah memiliki nama. Tingkatan ekonomi lah yang membuat stratifikasi sosial ini muncul, belum lagi karena jabatan dan tingkat pendidikan.
Aspek lain dari pelapisan sosial ini bisa saja menjadi hal yang menguntugkan bagi sebagian orang, aspek positif ini dapat kita jumpai di berbagai tempat contohnya jika kita seorang pejabat pemerintah kita mungkin akan sedikit lebih mudah dalam urusan birokrasi, karena adanya bantuan orang dalam yang memiliki jabatan. Plapisan sosial di pedesaan mungkin akan menimbulkan hal baik bagi para pencari modal apabila seseorang yang memilik tingkat ekonomi menengah ke atas berpendidikan tinggi juga mempunyai jabatan dapat bekerja sama dengan masyarakat ke bawah untuk saling membantu dengan mendirikan koperasi kecil-kecilan dengan modal yang sudah di danai oleh orang yang mempunyai pengaruh kuat di daerah itu.
Pelapisan sosial pastilah terjadi dimanapun kita berada, namun tergantung dari bagaimana kita menyikapi dan menjaganya agar tidak adanya kecemburuan, kesenjangan, dan diskriminasi sosial pada masyarakat dalam tingkatan apapun, entah menengah ke atas atau ke bawah, semua manusia dengan derajat yang sama, yang membedakan tinggi rendah hanyalah akhlak yang mulia. Jika kita beruntung menjadi seorang yang tinggi di mata sosial, maka jangan menyalahgunakan kedudukan tinggi tersebut, dan jika kita berada dalam tingkatan rendah, maka berusahalah agar hidup kita menjadi bermakna bagi orang lain meski kita hanya orang biasa yang selalu tertindas.
Masyarakat terbentuk dari individu-individu. Individu-individu yang terdiri dari berbagai latar belakang tentu akan membentuk suatu masyarakat heterogen yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial. Dengan terjadinya kelompok sosial itu maka terbentuklah suatu pelapisan masyarakat atau masyarakat yang berstrata.
Jika dilihat dari kenyataan, maka Individu dan Masyarakat adalah Komplementer. dibuktikan bahwa:
a) Manusia dipengaruhi oleh masyarakat demi pembentukan pribadinya;
b) Individu mempengaruhi masyarakat dan bahkan bisa menyebabkan perubahan besar masyarakatnya.
Menurut Pitirim A.Sorokin, Bahwa “Pelapisan Masyarakat adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarchis)”.
Sedangkan menurut Theodorson dkk, didalam Dictionary of Sociology, bahwa “Pelapisan Masyarakat berarti jenjang status dan peranan yang relatif permanent yang terdapat didalam sistem sosial (dari kelompok kecil sampai ke masyarakat) di dalam pembedaan hak, pengaruh, dan kekuasaan. Masyarakat yang berstratifikasi sering dilukiskan sebagai suatu kerucut atau piramida, dimana lapisan bawah adalah paling lebar dan lapisan ini menyempit ke atas.
Sumber :
https://raullycious.wordpress.com/2011/11/22/pengertian-pelapisan-sosial-dan-aspek-aspek-positif-dan-negatif-dari-sistem-pelapisan-sosial/
Teknologi & Sosial
Pengaruh Teknologi dalam Kehidupan Sosial
Pengaruh teknologi dalam
kehidupan sosial - Di era serba canggih dan moderen ini, banyak kita temukan kasus perubahan sosial dalam kehidupan bermasyarakat yang disebabkan oleh
produk teknologi.
Televisi
merupakan salah satu pesawat audio-visual populer hasil teknologi yang telah mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat. Seperti
yang sudah kita ketahui, dampak peningkatan
kepemilikan televisi oleh masyarakat, dapat menyebabkan perubahan hubungan
sosial terhadap masyarakat yang bersangkutan. Perubahan tersebut tidak
hanya bagi anak-anak tetapi juga terjadi pada orang dewasa.
Pengaruh siaran televisi sering membuat anak lalai. Misalnya,
meninggalkan pelajaran mengaji
dan malas
mengulang pelajaran di
rumah. Mereka lebih suka
melihat siaran
televisi sampai larut malam.
Dikalangan orang dewasa, terutama di daerah perkotaan ditemukan pula sesuatu gejala bahwa televisi
dapat menyebabkan orang lebih betah di rumah. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya kebutuhan
untuk mencari hiburan dan informasi di luar rumah.
Komunikasi
dan interaksi sosial dengan masyarakat sekitarnya semakin berkurang. Begitu
banyaknya saluran televisi dan menariknya siaran yang ditayangkan telah membuat
orang tidak lagi sering berkunjung
atau ngobrol dengan tetangga.
Anggota suatu komunitas menjadi asing satu sama lainnya. Hal ini dapat kita lihat dilingkungan kelas menengah, di kompleks-kompleks perumahan elite dan mewah di
kota-kota besar.
Bagaimana
di daerah pedesaan? Mungkin terjadi sedikit perbedaan dimana masyarakat masih berkesempatan
untuk membangun interaksi sosial. Orang sering bertemu dan menjalin silaturahmi
satu sama lainnaya. Mengapa?
Belum
semua keluarga yang memiliki pesawat televisi. Biasanya di pedesaan televisi hanya dimiliki oleh beberapa orang kaya
atau yang terpandang. Mereka yang tidak memiliki pesawat televisi berkumpul menyaksikan siaran televisi di
rumah yang memiliki pesawat televisi.
Hal itu dapat meningkatkan hubungan antara pemilik
televisi dan masyarakat sekitar serta sesama pemirsa televisi. Kemudian
terbentuklah semacam kelompok baru masyarakat, yaitu pemirsa televisi.
Sumber :
http://www.matrapendidikan.com/2016/09/pengaruh-teknologi-dalam-kehidupan.html
Langganan:
Postingan (Atom)