Etnosentrisme,
Pentingkah?
Oleh : Dio Satrio Jati
Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat,
terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai
daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang
kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi
bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di
Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di
dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai
dinamika kebudayaan di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa
terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai
perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung
untuk merndahkan kelompok lainya?
Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu
cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia
selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama
manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal
manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang
tidak.
Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu
dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja.
Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah
berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling
komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan,
pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial
adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial.
Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka
membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial
mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat
terjadinya kelompok sosial meliputi :
1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok
yang bersangkutan
Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota
dalam suatu kelompok
Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar
mereka bertambah erat
Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial
adalah :
1.Tujuan yang sama
2.Nasib yang sama
3.Kepentingan yang sama
4.Ideologi politik yang sama
5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi
pengikat.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan
salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat
terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan
tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di
dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu
budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring
kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah
pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau
belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial
sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya
yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok
sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak
pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan
pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian,
tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat
sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila
persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna
menciptakan integrasi bangsa secara nasional.
Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling
bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan
cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling
bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur
yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang
ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada.
Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling
berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang
memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta
menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan
dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau
hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang
budayanya[3].
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang
bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial
lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel.
Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian
terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering
disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok
sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung
sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang
karakteristisnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d2
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d2
ai daerah di Indonesia
dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat
berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bag
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme, Pentingkah?
Oleh : Dio Satrio Jati
Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat,
terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai
daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang
kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi
bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di
Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di
dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai
dinamika kebudayaan di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa
terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai
perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung
untuk merndahkan kelompok lainya?
Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu
cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia
selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama
manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal
manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang
tidak.
Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu
dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja.
Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah
berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling
komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan,
pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial
adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial.
Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka
membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial
mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat
terjadinya kelompok sosial meliputi :
1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok
yang bersangkutan
Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota
dalam suatu kelompok
Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar
mereka bertambah erat
Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial
adalah :
1.Tujuan yang sama
2.Nasib yang sama
3.Kepentingan yang sama
4.Ideologi politik yang sama
5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi
pengikat.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan
salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat
terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan
tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di
dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu
budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring
kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah
pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau
belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial
sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya
yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok
sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak
pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan
pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian,
tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat
sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila
persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna
menciptakan integrasi bangsa secara nasional.
Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling
bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan
cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling
bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur
yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang
ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada.
Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling
berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang
memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta
menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan
dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau
hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang
budayanya[3].
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang
bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial
lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel.
Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian
terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering
disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok
sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung
sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang
karakteristisnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme,
Pentingkah?
Oleh : Dio Satrio Jati
Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat,
terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai
daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang
kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi
bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di
Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di
dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai
dinamika kebudayaan di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa
terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai
perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung
untuk merndahkan kelompok lainya?
Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu
cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia
selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama
manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal
manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang
tidak.
Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu
dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja.
Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah
berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling
komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan,
pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial
adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial.
Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka
membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial
mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat
terjadinya kelompok sosial meliputi :
1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok
yang bersangkutan
Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota
dalam suatu kelompok
Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar
mereka bertambah erat
Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial
adalah :
1.Tujuan yang sama
2.Nasib yang sama
3.Kepentingan yang sama
4.Ideologi politik yang sama
5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi
pengikat.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan
salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat
terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan
tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di
dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu
budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring
kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah
pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau
belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial
sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya
yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok
sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak
pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan
pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian,
tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat
sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila
persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna
menciptakan integrasi bangsa secara nasional.
Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling
bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan
cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling
bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur
yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang
ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada.
Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling
berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang
memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta
menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan
dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau
hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang
budayanya[3].
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang
bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial
lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel.
Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian
terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering
disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok
sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung
sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang
karakteristisnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme,
Pentingkah?
Oleh : Dio Satrio Jati
Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat,
terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai
daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang
kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi
bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di
Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di
dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai
dinamika kebudayaan di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa
terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai
perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung
untuk merndahkan kelompok lainya?
Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu
cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia
selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama
manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal
manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang
tidak.
Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu
dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja.
Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah
berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling
komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan,
pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial
adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial.
Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka
membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial
mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat
terjadinya kelompok sosial meliputi :
1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok
yang bersangkutan
Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota
dalam suatu kelompok
Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar
mereka bertambah erat
Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial
adalah :
1.Tujuan yang sama
2.Nasib yang sama
3.Kepentingan yang sama
4.Ideologi politik yang sama
5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi
pengikat.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan
salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat
terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan
tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di
dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu
budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring
kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah
pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau
belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial
sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya
yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok
sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak
pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan
pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian,
tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat
sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila
persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna
menciptakan integrasi bangsa secara nasional.
Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling
bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan
cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling
bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur
yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang
ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada.
Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling
berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang
memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta
menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan
dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau
hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang
budayanya[3].
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang
bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial
lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel.
Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian
terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering
disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok
sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung
sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang
karakteristisnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Etnosentrisme,
Pentingkah?
Oleh : Dio Satrio Jati
Kelompok sosial merupakan fenomena yang lumrah di dalam masyarakat,
terutama di Indonesia. Kehadiran kelompok-kelompok sosial di berbagai
daerah di Indonesia dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang
kuat memang sangat berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi
bagi bangsa Indonesia. Melalui berbagai media bisa kita lihat di
Indonesia terdiri dari banyak kelompok-kelompok sosial yang tersebar di
dalam masyarakat. Dan melalui kelompok sosial itu timbul berbagai
dinamika kebudayaan di Indonesia.
Bagaimana sebenarnya kelompok sosial di dalam masyarakat itu bisa
terbentuk? Serta mengapa tiap kelompok sosial itu pasti mempunyai
perasaan etnosentrisme yang kuat terhadap kelompoknya dan cenderung
untuk merndahkan kelompok lainya?
Dalam pandangan sosiologi manusia itu tak bisa hidup sendiri dan selalu
cenderung ingin hidup dengan manusia lainnya secara berkelompok. Manusia
selalu berusaha berinteraksi dengan pihak lain, baik dengan sesama
manusia maupun alam sekelilingnya[1]. Jadi dalam keadaan yang normal
manusia itu selalu ingin hidup bersama-sama meskipun ada beberapa yang
tidak.
Kelompok sosial biasanya terbentuk setelah di antara individu yang satu
dengan yang lain bertemu, namun bukan pertemuan spontan begitu saja.
Pertemuan antar individu yang menghasilkan kelompok sosial haruslah
berupa proses interaksi seperti adanya kontak, kerja sama, saling
komunikasi untuk mencapai tujuan bersama, mengadakan persaingan,
pertikaian dan konflik. Dengan demikian menurut saya interaksi sosial
adalah syarat utama untuk membentuk kelompok sosial.
Dengan adanya interaksi yang berbeda-beda dari sebagian masyarakat maka
membentuk kelompok sosial yang berbeda-beda pula. Kelompok sosial
mempunyai pengertian kumpulan orang yang memiliki kesadaran bersama akan
keanggotaan dan saling berinteraksi[2]. Sedangkan syarat-syarat
terjadinya kelompok sosial meliputi :
1.Adanya kesadaran anggota bahwa mereka merupakan bagian dari kelompok
yang bersangkutan
Ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan antara anggota
dalam suatu kelompok
Terdapat faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar
mereka bertambah erat
Berstruktur, berkaidah, mempunyai pola perilaku
Bersistem dan berproses
Adapun faktor-faktor yang melatar belakangi terbentuknya kelompok sosial
adalah :
1.Tujuan yang sama
2.Nasib yang sama
3.Kepentingan yang sama
4.Ideologi politik yang sama
5.Faktor penting lain adalah adanya musuh bersama yang bisa menjadi
pengikat.
Di Indonesia berbagai kebudayaan yang begitu banyak bisa menimbulkan
salah persepsi diantara kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam
masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari adanya pandangan yang ketat
terbatas terhadap kebutuhan atau keinginannya sendiri di mana pandangan
tersebut sering kali tidak efektif untuk berurusan dengan orang lain.
Persoalannya adalah mengapa dengan banyaknya kelompok-kelompok sosial di
dalam masyarakat menjadi semakin mudah saja adanya disintegrasi yang
dilatarbelakangi oleh permasalahan etnosentrisme di Indonesia? Apabila
kita mengikuti alur pemikiran dari Agus Budi Wibowo yaitu menilai suatu
budaya dari budaya kaca mata kita sendiri memang tidak akan menggiring
kita pada suatu kesepakatan dan yang kemudian muncul adalah
pandangan-pandangan yang menilai suatu budaya bersifat terbelakang atau
belum beradab, jika dibandingkan dengan kebudayaan kita.
Dengan adanya perasaan itulah yang menyebabkan tiap-tiap kelompok sosial
sangat mudah bergesekan dengan kelompok lain yang bukan in-groupnya
yang sangat rentan terjadi disintegrasi sosial di Indonesia.
Maka tidak aneh ketika jika anggota-anggota dari masing-masing kelompok
sosial memiliki preferensi untuk memaksa, dan setidaknya menggertak
pihak yang dianggap lebih lemah untuk mengikuti kehendak mereka.
Cara-cara kekerasan fisik dan verbal sengaja dilakukan untuk menundukkan
pihak yang dipandang tidak sejalan. Melalui pemahaman demikian,
tampaknya lebih tepat apabila kehadiran paham etnosentrisme bisa dilihat
sebagai gejala deviasi atau penyimpangan sosial. Maka sangat wajar bila
persoalan etnosentrisme menjadi agenda utama pemerintah guna
menciptakan integrasi bangsa secara nasional.
Kelompok-kelompok sosial yang ada di Indonesia yang sedang saling
bergesekan atau bertentangan sebenarnya hanya sedang mengalami perbedaan
cara pandang budaya saja, kecenderungan untuk melihat dunia hanya
melalui sudut pandang budaya sendiri. Kelompok sosial yang saling
bertentangan ini tidak mampu memahami akar persamaan diantara kultur
yang ada atau sengaja untuk tidak menyepakati persamaan kebudayaan yang
ada kareana dianggap merugikan salah satu kelompok sosial yang ada.
Pada dasarnya Etnosentrisme memiliki dua tipe yang satu sama lain saling
berlawanan. Tipe pertama adalah etnosentrisme fleksibel. Seseorang yang
memiliki etnosentrisme ini dapat belajar cara-cara meletakkan
etnosentrisme dan persepsi mereka secara tepat dan bereaksi terhadap
suatu realitas didasarkan pada cara pandang budaya mereka serta
menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan latar belakang budayanya.
Tipe kedua adalah etnosentrisme infleksibel. Etnosentrisme ini dicirikan
dengan ketidakmampuan untuk keluar dari perspektif yang dimiliki atau
hanya bisa memahami sesuatu berdasarkan perspektif yang dimiliki dan
tidak mampu memahami perilaku orang lain berdasarkan latar belakang
budayanya[3].
Melihat dari definisi diatas menurut saya tidaklah perlu untuk memandang
bahwa etnosentrisme harus dihilangkan sama sekali guna mencapai
integrasi bangsa Etnosentrisme jelas bukan sesuatu yang harus
dihilangkan sama sekali. Ia patut dipelihara karena etnosentrisme memang
fungsional. Dalam hal ini etnosentrisme fleksibellah yang harus
dikembangkan. Dengan etnosentrisme fleksibel, kehidupan multikultur yang
damai bisa berlangsung sementara masing-masing kultur tidak kehilangan
identitasnya.
Mengetahui mengenai budaya kelompok sendiri dan budaya kelompok sosial
lain serta pengaruhnya terhadap cara-cara memahami realitas dalam
keadaan tertentu tidak cukup untuk menumbuhkan etnosentrisme fleksibel.
Kita juga harus belajar untuk membedakan antara emosi, penilaian
terhadap moralitas, dan penilaian terhadap kepribadian yang sering
disamakan dengan etnosentrisme dan cara pandang budaya.
Hal ini yang perlu di kembangkan dalam pemikiran kelompok-kelompok
sosial di Indonesia, kehidupan multikultur harus tetap berlangsung
sementara kultur asli dan masing-masing kelompok sosial tidak hilang
karakteristisnya.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d27
ai daerah di Indonesia
dengan disertai adanya perasaan etnosentrisme yang kuat memang sangat
berpotensi menimbulkan disintegrasi maupun integrasi bag
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d2
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/hatipikirandanpenggambaran/kelompok-sosial-dan-permasalahan-etnosentrisme-di-indonesia-etnosentrisme-pentingkah-oleh-dio-satrio-jati_55114bc6a33311bc43ba7d2
PENGERTIAN ETNOSENTRISME
Etnosentrisme merupakan suatu persepsi yang dimiliki oleh tiap-tiap
individu yang menganggap budayanya merupakan yang terbaik dari
budaya-budaya yang dimiliki oleh orang lain. Etnosentrisme tersebut
dapat juga diartikan sebagai fanatisme suku bangsa.
Segi positif Etnosentrisme diantaranya ialah
- menjaga kestabilan serta keutuhan budaya,
- dapat mempertinggi semangat patriotisme dan juga kesetiaan kepada bangsa,
- dapat memperteguh rasa cinta terhadap kebudayaan / bangsa.
Penyebab Munculnya Etnosentrisme di Indonesia:
Budaya Politik
Faktor yang mendasar yang menjadi penyebab akan munculnya etnosentrisme
ini adalah budaya politik dari masyarakat yang cenderung tradisional
serta tidak rasionalis. Budaya politik masyarakat tersebut kita masih
tergolong budaya politik subjektif Ikatan emosional serta ikatan-ikatan
primordial yang masih cenderung menguasai masyarakat yang ada di
Indonesia . Masyarakat terlibat didalam dunia politik yaitu kepentingan
mereka yang sangat mementingkan suku, etnis, agama dll.
Pluralitas Bangsa Indonesia
faktor yang lain , penyebab munculnya masalah etnosentrisme ialah
pluralitas Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri
dari berbagai suku, agama, ras serta golongan. Pluralitas masyarakat
Indonesia tersebut tentu melahirkan berbagai persoalan. Pada tiap-tiap
suku, agama, ras serta golongan berusaha untuk dapat memperoleh
kekuasaan serta juga menguasai yang lain.Masalah kepentingan inilah yang
faktor yang banyak memunculkan persoalan-persoalan pada tiap-tiap
daerah.
Dampak Positif dan Negatif dari Etnosentrisme
Dampak positif dari etnosentrisme adalah
- dapat mempertinggi semangat patriotisme,
- menjaga keutuhan serta juga stabilitas kebudayaan,
- mempertinggi rasa cinta kepada bangsa sendiri.
Sikap etnosentrisme adalah sikap tolak ukur budaya seseorang dengan budayanya .
Dampak Negatif dari etnosentrisme adalah,
- Dapat menyebabkan konflik antar suku.
- Adanya alirannya politik.
- Menghambat proses asimilasi budaya yang berbeda.
Definisi Primordialisme, Etnosentrisme, dan Politik Aliran
Primordialisme
Istilah Primordialisme tersebut berasal dari bahasa latin yakni Primus yang memiliki arti pertama, serta Ordiri yang memiliki arti tenunan /ikatan.
Jadi , Primordial bisa diartikan sebagai ikatan-ikatan utama seseorang
didalam kehidupan sosialnya, dengan adanya hal-hal yang dibawanya sejak
lahir seperti, suku , ras, klan, asal-usul kedaerahan, serta agama.
Etnosentrisme
Etnosentrisme merupakan suatu sikap dalam menilai kebudayaan masyarakat
lain dengan menggunakan ukuran-ukuran yang berlaku pada masyarakatnya.
Politik Aliran
Politik Aliran / Sektarian adalah suatu keadaan yang mana sebuah
kelompok / organisasi tertentu dikelilingi oleh organisasi massa baik
formal ataupun informal. Tali pengikat kelompok / organisasi massa ini
merupakan ideologi/aliran sekte tertentu.
Sumber :
http://www.pendidikanku.org/2016/07/pengertian-etnosentrisme-dan-dampaknya.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar